Perubahan Kekuatan Jepang dari Militer yang Agresif menjadi Jepang sebagai “Soft Power Superpower” dalam Politik Internasional
Pada Perang Dunia
II, tentara Jepang sangatlah agresif kepada para lawan. Namun, karena kekalahan
Jepang oleh tentara Sekutu membuat Jepang harus menanggung konsekuensi
kekalahannya. Dibawah kepemimpinan McArthur, Sekutu menduduki Jepang untuk
merombak Jepang yang merupakan negara militer yang agresif menjadi Jepang
sebagai negara demokratis. Pada pertemuan para pemimpin Sekutu telah sepakat
untuk melucuti Jepang dan mencegah remiliterisasi oleh Jepang pada masa depan.
Militer Jepang yang agresif ditakutkan akan merusak keamanan internasional.
Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan merombak penuh negara Jepang,
menstabilkan perekonomian.
Pendudukan Jepang
dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu: upaya untuk menghukum dan merekonstruksi
Jepang, bekerja untuk menghidupkan kembali perekonomian Jepang, dan kesimpulan
dari perjanjian dan aliansi perdamaian formal (Office of the Historian United
States Department of State, tanpa tahun). Penghukuman Jepang dilakukan dengan
demiliterisasi Jepang dan menjamin keamanan Jepang. Supreme Command of Allied
Powers (SCAP) membubarkan tentara Jepang dan melarang bekas petugas militer
untuk mengambil bagian sebagai pemimpin politik. Di fase kedua pendudukan
Jepang, SCAP mulai khawatir karena komunisme telah menyebar ke Cina hingga
menyebabkan perang sipil, ditambah lagi perekonomian Jepang saat itu sedang
krisis. Sulitnya membangun ekonomi Jepang semakin mengancam ketakutan akan
pengaruh dari komunisme domestik maupun pengaruh komunisme dari luar Jepang.
Didukung dengan maraknya pengangguran, akhirnya membuat SCAP memutuskan untuk
mempersenjatai Jepang kembali agar dapat bertahan dan melawan musuhnya, para
komunis yang dikenal sebagai “Reverse Course” atau Kursus Kembali dan
menjadikan Jepang sebagai pabrik Asia walaupun pada akhirnya hal itu
menghianati tujuan pendudukan (Smith, 2016). Menangkal komunisme lebih penting
daripada perjanjian pendudukan karena komunisme sangat dekat dan mengancam Asia
saat itu dan Amerika Serikat sangat takut bahwa dunia akan dikuasai oleh
komunisme.
METODOLOGI
Dalam politik
internasional, terdapat suatu instrumen yang digunakan untuk dapat meningkatkan
sebuah kekuasaan dan negara dapat noticeable
dalam memengaruhi kebijakan politik luar negeri negara lainnya.
Instrumen-instrumen tersebut diklasifikasikan dalam dua kategori: 1) kekuatan
keras (hard power) dan 2) kekuatan lunak (soft power). Hard power adalah kekuatan yang mudah diukur dan mudah dirasakan. Hard power akan lebih mudah diapresiasi
karena hard power lebih mudah dilihat
bahwa pemaksaan yang pasti diukur atau insentif positif telah digunakan dan
untuk mematuhi hasil (Rourke, 2008). Kekuatan-kekuatan yang masuk dalam
klasifikasi hard power adalah
kekuatan yang mudah dilihat seperti kekuatan militer, kekuatan ekonomi dan
sumber daya alam. Hard power adalah
bentuk kekuatan tertua yang terhubung dengan gagasan sistem internasional yang
anarki, dimana negara tidak mengakui otoritas superior dan dengan demikian
harus fokus pada politik kekuasan (Raimzhanova, 2015). Hard power biasanya lebih disegani dan lebih ditakuti karena
menggunakan cara-cara yang koersif dan intimidatif untuk mendapatkan tujuan
yang dimau oleh aktor yang menggunakan hard
power tersebut. Hard power
seringkali diandaikan dengan “stick and carrots” dimana artinya adalah ketika
suatu negara mengimplementasikan hard
power-nya ke negara lain, dan negara tersebut menurutinya, maka akan
diberikan carrot, namun jika negara
tersebut membangkang, maka akan diberikan stick
sebagai hukumannya. Berbeda dengan hard
power, soft power adalah wajah indah dari kekuatan yang tanpa disadari,
ketika negara mengimplementasikannya kepada negara lain, mereka akan takluk.
Jika power
diandaikan sebagai manusia, maka hard
power adalah sosok manusia yang ditakuti dan disegani, namun soft power lebih banyak dicintai dan
dihormati. Melalui cara-cara soft power,
seperti menyebarkan nilai-nilai ideologi, menyebarkan kultur budaya, teknologi
dan lain-lainnya. Soft power adalah
kemampuan atas pembentukan preferensi negara lain, tanpa dilakukan pemaksaan,
kekerasan, tapi melalui cara-cara yang tidak dapat diukur seperti nilai-nilai
politik, institusi-institusi, dan kebijakan-kebijakan yang dilihat sebagai
legitimasi atau sesuatu yang memiliki otoritas moral (Nye, 2008). Namun dalam
buku Rourke (2008), dijelaskan bahwa kaum realis sebenarnya tidak mempercayai soft power dan membuang opsi soft power karena konsep dari soft power
sendiri tidak keluar dari sentimen altruistik sama halnya seperti kekaguman
suatu negara ke negara lain. Namun, kaum realis tidak dapat mengelak bahwa
penggunaan soft power juga berhasil.
Penggunaan soft power pernah
dilakukan oleh banyak negara seperti Amerika Serikat yang menyebarkan demokrasi
pada banyak negara kepada beberapa negara saat perang dingin berlangsung.
Baik hard power maupun soft power memiliki tujuan yang sama. Tujuan dari penggunaan
kekuatan dalam politik internasional adalah membuat negara lain tunduk dan
patuh dalam melakukan suatu hal yang diinginkan oleh mereka walaupun itu
menentang keinginannya. Menggunakan soft
power dan hard power juga
bertujuan untuk dapat terlihat mendominasi dalam panggung internasional
sehingga negara lain tidak berani menentang keputusan mereka. Amerika Serikat
adalah salah satu negara yang memiliki kedua kekuatan sekaligus. Amerika Serikat
bisa menggunakan hard power ataupun soft power ketika mereka mau. Telah
banyak akhirnya kebijakan luar negeri Amerika Serikat, teknologi-teknologi yang
diciptakan, demokrasi yang disebarkan menjadi suatu kekuatan Amerika Serikat
sebagai negara yang kebijakannya tidak pragmatis. Namun, itulah fungsi dari soft power yang akan membuat negara lain
mengamini nilai-nilai politik serta membenarkan kultur suatu negara karena
telah terpengaruh dan merasa masih membutuhkannya.
Amerika Serikat
dapat menggunakan hard power ketika dirasa perlu menggunakannya kepada beberapa
negara seperti Invasi ke Irak yang menggunakan “stick” untuk menghukum Irak,
atau menggunakan “carrot” kepada Jepang untuk membantu keamanan setelah Jepang
menuruti untuk melemahkan militer mereka. Penggunaan hard power lebih terlihat
memaksa daripada soft power,
terkadang negara hanya menggunakan satu kekuatan saja, atau dua kekuatan dalam
waktu yang berbeda maupun sekaligus. Korea Utara, merupakan negara yang
menggunakan hard power dengan sangat
masif terutama kepada Korea Selatan dan Amerika Serikat dengan pencobaan
nuklir. Percobaan nuklir Korea Utara tidak hanya menjadi ancaman kedua negara
tersebut namun dunia internasional juga turut menjadikan percobaan nuklir Korea
Utara sebagai ancaman yang serius. Korea Selatan, dalam menangani Korea Utara
menggunakan kedua kekuatan dalam waktu bersamaan. Karena ancaman nuklir, Korea
Selatan mengancam untuk menggunakan bom grafit yang akan melumpuhkan jaringan
listrik Korea Utara (Christiastuti, 2017). Selain itu Korea Selatan juga
menggunakan pop kulturnya dengan mengirim beberapa penyanyi ke Korea Utara.
Dampak dari hard power sendiri adalah ketakutan dan
perasaan tertekan dan oleh karenanya, negara yang merasa tertekan menuruti
keinginan negara yang telah menggunakan hard
power. Sedangkan dampak dari soft
power biasanya tidak disadari, seperti Amerika Serikat yang menyebarkan
nili-nilai demokrasi, sehingga negara yang terpengaruh dengan nilai-nilai
demokrasi Amerika Serikat akan mengamini kebijakan-kebijakan Amerika Serikat
yang “dibunyikan” atas nama demokrasi.
Namun, banyak yang
mengkritik teori Nye dan menganggap bahwa soft
power hanyalah sebuah topeng yang digunakan untuk mengimplementasikan hard
power daripada soft power. Pada
Akhirnya, Amerika Serikat bergantung pada hard
power, oleh karena itu, soft power
hanya menyamarkan niat kekuatan besar untuk memanfaatkan hard power (Watanabe & David, 2008). Dalam buku Watanabe &
David, Ferguson (2003) sangat mengkritik penggunaan soft power dan mengatakan
bahwa negara-negara selalu mencoba untuk menutupi kekuatan mereka dalam
altruisme, soft power seperti sebuah
“halo” dari hard power.
Semua power dalam penggunaannya memiliki
tujuan yang sama, salah satu tujuannya yaitu bargaining power. Teori ini membuktikan bahwa soft power yang dimasifkan oleh Jepang adalah untuk memperkuat bargaining position. Bargaining power
diartikan sebagai kapasitas dari aktor untuk memengaruhi proses tawar-menawar
untuk mencapai hasil yang menguntungkan preferensinya (Lamprecht, 2014). Jadi
ketika suatu negara memiliki bargaining
power yang lebih besar baik dalam bilateral maupun multilateral, akan
dengan mudah ia mencapai kepentingannya.
Beberapa
Organisasi Internasional memiliki ketipangan dalam bargaining power seperti
dalam UNSC (Dewan Keamanan PBB) yang terdapat sistem veto dimana itu
menguntungkan negara yang memiliki hak tersebut. Bahkan negara dapat menolak
resolusi draft jika resolusi tersebut tidak menguntungkan negara yang memiliki
hak veto, maka ia dapat menolaknya demi kepentingannya. Selain dalam
multilateral, bargaining power dapat
ada ketika dalam perjanjian bilateral seperti ketika kedua negara saling
bernegosiasi, maka dalam beberapa kasus akan ada yang lebih dominan dan
memiliki bargaining power yang lebih
daripada negara lain.
DISKUSI
& PEMBAHASAN
WAJAH BARU JEPANG
Jepang yang
merupakan negara dengan militer yang agresif pada Perang Dunia II, pada
akhirnya kalah dan membuat militernya dilemahkan oleh SCAP (Supreme Command of
Allied Powers) dan merombak penuh negara Jepang. Jepang yang awalnya merupakan
musuh besar Amerika Serikat akhirnya menjadi ‘teman’ dan mendukung Amerika
Serikat. Dengan perombakan yang dilakukan oleh Sekutu, maka Jepang tidak lagi
menjadi negara yang memiliki militer yang agresif. Karena Sekutu melemahkan
militer yang ada di Jepang, akhirnya Jepang mengganti fokusnya. Banyak industri-industri
teknologi yang kemudian diciptakan untuk meningkatkan perekonomiannya. Nye
menyimpulkan, Jepang telah menemukan dirinya dua kali, setelah Restorasi Meiji
dan setelah Perang Dunia II, membutuhkan tampilan budaya ketiga bukanlah suatu hal
yang tidak mungkin, namun hal yang sulit untuk dilakukan (McConnell, 2008).
Mengikuti Restorasi Meiji, Jepang telah bangkit dengan industrinya, namun
industri-industri tersebut dilakukan lebih masif setelah kekalahannya di Perang
Dunia II. Jepang memiliki wajah baru yang bukan sebagai Jepang yang agresif,
namun sebagai Jepang yang baik dan keren yang kemudian dikenal dengan ‘Cool
Japan’. ‘Cool Japan’ diciptakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang dinamis
dan bisnis Jepang dapat dengan aktif eksis di pasar luar negeri (Cool Japan
Fund, tanpa tahun).
Perlu
digarisbawahi bahwa, soft power telah
menjadi suatu concern dan ditempatkan
pada prioritas utama oleh pemerintah Jepang sebagai keputusan utama. Jepang
telah menjadikan budayanya sebagai hal yang dapat dijadikan kekuatan dalam
melakukan diplomasi. Seperti manga, anime, makanan, teknologi, makanan, seni
tradisional, J-Pop dan banyak lagi elemen-elemen berbudaya yang disusun tidak
hanya bagian besar yang nyata yang diekspor oleh Jepang ke pasar asing, namun
juga tentang citranya yang menunjukkan ke dunia (Nisi, 2017). Jepang ingin
menunjukkan bahwa Jepang bukanlah Jepang yang dulu yang bengis namun Jepang
yang ramah. Jepang ingin menunjukkan terlebih ingin memperbaiki citranya ke
dunia. Jepang hari ini adalah sebuah artistik, kuliner, dan kultural superpower (Walker, 2019). Banyak negara
yang mengagumi budaya Jepang dan oleh karenanya akan suka untuk bekerjasama
dengan Jepang sebab ingin menikmati budayanya yang ’dicintai’. Rasa cinta dan
kagum sebuah negara dapat membuat Jepang dengan mudah membuat negara tersebut
mengikuti apa yang dimaunya. Jepang memiliki krisis citra yang buruk di mata
dunia pada Perang Dunia II sehingga ia ingin memperbaiki citra tersebut dengan
menjadikan soft power sebagai kunci
utamanya dalam kebijakan luar negerinya.
SOFT POWER SEBAGAI
CARA JEPANG KEMBALI MENONJOLKAN DIRI
Jepang yang
dikenal dengan “A land of rising soft power” atau daratan dari bangkitnya soft power memang sangat terkenal dengan
banyak program soft power-nya seperti kuliner, JET (Japan
Exchange and Teaching), anime, J-Pop, budaya dan festival, seni tradisional dan
banyak program-program yang digunakan untuk berdiplomasi merupakan soft power yang digunakan untuk
membangun citra baru. Namun, selain untuk membangun citra baru yang keren dan
baik, soft power tersebut digunakan
oleh Jepang untuk tetap dapat menonjolkan diri di politik internasional dan
memiliki suara yang berpengaruh dalam pembuatan di politik internasional.
dahulu, Jepang menonjolkan dirinya di politik internasional dengan cara militer
yang agresif dan berani menyerang Amerika Serikat di Pearl Harbor dimana tempat
tersebut merupakan basis militer Angkatan Laut Amerika Serikat. Banyak pula
negara jajahan milik Jepang yang akhirnya membuat Jepang terlihat sebagai musuh
yang diperhitungkan saat itu. Dengan hard power-nya, Jepang menjadi salah
satu negara yang dapat mendominasi kala itu. Jepang di abad ke-21 juga Jepang
yang terlihat di politik internasional. Jepang masih Jepang yang dulu yang
ingin menonjolkan dirinya di panggung internasional namun memiliki cara yang
berbeda dari yang dulu. Jika caranya dulu cenderung lebih koersif, maka cara
Jepang setelah bangkit dari kekalahannya pada Perang Dunia II adalah dengan
menggunakan budaya dan teknologinya. Negara lain yang telah menjadi pasar dagang
Jepang untuk menjual teknologi-teknologinya akan merasa kagum terhadap
teknologi Jepang kemudian bergantung padanya sehingga mampu membuat Jepang
berhasil mengimplementasikan soft powernya. Tidak hanya teknologi,
negara-negara yang warga negaranya mengikuti program JET juga akan kagum atas
fasiltas yang diberikan oleh Jepang sehingga negara tersebut juga percaya
kepada Jepang karena warga negaranya menikmati fasilitas yang diberikan oleh
Jepang. Ataupun menyebarkan budaya J-Pop, anime, dan manga sehingga warga
negara di negara lain tertarik terhadapnya dan kagum karena budaya tersebut
menarik. Namun yang perlu digarisbawahi disini adalah, tujuan dari
diterapkannya soft power adalah untuk
mecapai pertumbuhan ekonomi sehingga akan memperbesar kesempatan untuk
menggunakan hard power-nya, dengan begitu suara Jepang di politik internasional akan
terdengar dan berpengaruh dalam pembuatan keputusan serta akan memperkuat
bargaining position Jepang dalam berdiplomasi. Jadi apa yang dinyatakan oleh
Ferguson (2003) dalam buku Watanabe & David (2008) benar jika soft power adalah sebuah ‘halo’ dari hard power. Sehingga lebih tepat
dikatakan bahwa hard power merupakan
wajah asli dibalik topeng soft power
yang ramah dan menarik. Karena ketika soft
power diterapkan terlebih dahulu maka akan membuat negara lain mengaguminya
kemudian dengan kekaguman itu, ketika Jepang menerapkan hard powernya.
Jepang ingin
memberitahu dunia bahwa Jepang memegang peran penting di dunia dan ia ingin
mencapainya kembali namun dengan cara yang jauh berbeda. Dibawah kepemimpinan
Abe, Tokyo memiliki ambisi untuk mengambil peran yang lebih besar di
kepemimpinan global, dan pembuat kebijakan percaya bahwa soft power adalah kunci untuk mencapainya (Stainslaus, 2018). Soft
power dinilai oleh pembuat keputusan sebagai cara yang tepat agar negara lain
dapat tertarik kepada Jepang. Joshua Walker (2019) di artikelnya menyebutkan
bahwa dunia juga membutuhkan soft power
dari Jepang. Dunia membutuhkan inovasi-inovasi yang diciptakan oleh Jepang.
Pada akhirnya, banyak negara membutuhkan teknologi yang dibuat oleh Jepang.
Jepang akan menjadi Jepang yang dominan, namun karena zaman telah berubah, ia
tak bisa lagi melakukan dominasi melalui hard
power yang koersif. Ada Amerika Serikat yang mendominasi di militer serta
ekonominya. Di Asia Timur, ada Cina yang ekonominya mulai bangkit dan semakin
naik hingga menjadi pesaing Amerika Serikat. Sehingga, cara yang Jepang lakukan
untuk dapat terlihat di dunia adalah dengan menyebarkan soft powernya. Karena
ketika menggunakan soft power sebagai
jalan mencapai peran penting untuk mendominasi dunia, ia memiliki dua keuntungan
dimana ia karena dapat efektif dalam mencapai tujuannya dan ia juga diuntungkan
dalam segi citranya. Amerika Serikat dan Cina yang dinilai dunia terlalu
mendominasi karena ia menggunakan hard
power-nya lebih sering daripada soft
power-nya. Korea Utara yang
menggunakan hard power dinilai
terlalu realis dan terlalu berambisi untuk mengancam musuh-musuhnya. Dapat
dengan jelas dibedakan bahwa ternyata soft
power memiliki kesempatan yang sama namun selain itu, negara yang
menggunakan soft power akan terlihat
memiliki citra yang baik dan tidak pragmatis. Tidak masalah untuk menggunakan
topeng bila topeng tersebut dapat bermanfaat untuk orang lain, Jepang dapat
menggunakan ‘wajah asli’nya nanti jika dibutuhkan.
KESIMPULAN
Power (kekuatan) sangat diperlukan untuk suatu negara agar setidaknya memiliki
bargaining power dalam berdiplomasi.
Namun ada tujuan lain yang lebih besar dari sekedar bargaining power yaitu dominasi. Dibawah kepemimpinan Abe, Jepang
berambisi untuk mengambil peran yang lebih penting dalam politik internasional
yang berarti bahwa Jepang ingin dapat menjadi negara yang dominan seperti
halnya Jepang pada era Perang Dunia II. Hanya saja, cara yang digunakan
berbeda. Jika pada Perang Dunia II Jepang menggunakan hard power-nya, maka
setelah ia bangkit dari kekalahannya dan hard
power-nya dilemahkan oleh Amerika
Serikat, Jepang mulai bangkit dengan soft
power dan menggunakan soft power
sebagai kunci utama untuk meraih peran penting yaitu dominasi di politik internasional.
REFERENSI
BUKU & JURNAL ILMIAH
Ferguson, Niall. (2003). Dalam Watanabe, Yasushi & David McConnell Soft Power Superpowers. New York: M.E.
Sharpe, Inc.
Lamprecht, Jens. (2014). Bargaining
Power in Multilateral Trade Negotiations: Canada and Japan in the Uruguay Round
and Doha Development Agenda. The London School of Economics and Political
Science.
McConnell, David. (2008). Japan’s
Image Problem and the Soft Power Solution. Dalam Watanabe Yasushi &
David McConnell Soft Power Superpowers
(hlm. 18) New York: M.E. Sharpe, Inc.
Nisi, Roberto. (2017). The Soft
Power of Cool: Japanese Foreign Policy in the 21st Century.
Johns Hopkins University.
Nye, Joseph J.R. (2008). Public
Diplomacy and Soft Power. Annals of the American Academy of Political and
Social Science.
Raimzhanova, Aigerim. (2015). Power
in IR: Hard, Soft, and Smart. Institute for Cultural and the University of
Bucharest.
Rourke, John T. (2008). International
Politics on the World Stage. New York: McGraw Hill
Smith, Martyn. (2016, December 15). Embracing
Defeat: Japan in the Aftermath of World War II. [Review dari buku Embracing
Defeat: Japan in the Aftermath of World War II]. Reviews in History. 688hlm.
Watanabe, Yasushi & David McConnell. (2008). Soft Power Superpowers. New York: M.E. Sharpe, Inc.
ARTIKEL & WEBSITE
Christiastuti, Novi. (2017, Oktober 09). Korsel Ancam Jatuhkan Bom yang Bisa Lumpuhkan Jaringan Listrik Korut.
[online] Didapatkan pada 15 Desember 2019. Dari https://m.detik.com/new/internasional/3676605/korsel-ancam-jatuhkan-bom-yang-bisa-lumpuhkan-jaringan-listrik-korut.
Cool Japan Fund. (tanpa tahun). What
is Cool Japan Fund?. [online] Didapatkan pada 16 Desember 2019. Dari https://www/cj-fund.co.jp/en/about/cjfund.html.
United States Department of State. (tanpa tahun). Occupation and Reconstruction of Japan, 1945-52. [online].
Didapatkan pada 15 Desember 2019. Dari https://history.state.gov/milestones/1945-1952/japan-reconstruction.
Walker, Joshua. (2019, Desember 1). Japan
is a Soft Power Superpower. [online] Didapatkan pada 16 Desember 2019. Dari
https://www.japantimes.co.jp/opinion/2019/12/01/commentary/japan-commentary/japan-soft-power-superpower/#.XfnBqssxXqD.
Comments
Post a Comment