PENDEKATAN HUMAN SECURITY DALAM PEMBUATAN KEPUTUSAN PENOLAKAN PEMULANGAN WNI EKS ISIS

 

PENDAHULUAN

ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) adalah suatu organisasi transnasional yang mengakui dirinya sebagai negara. Organisasi transnasional ISIS menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok yang anti dengan negara-negara demokrasi terutama negara-negara Barat. ISIS menganut sistem pemerintahan khalifah yang konservatif dan memegang teguh ajaran-ajaran Islam dengan ketat. ISIS adalah organisasi militan yang muncul sebagai cabang dari Al-Qaeda pada 2014 (Elbaum, 2018). Pada akhirnya ISIS bergerak dengan cepat dan menguasai wilayah sebagian besar teritori dari Irak dan Suriah. ISIS bergerak dengan menyerang negara-negara di dunia demi mencapai satu tujuan yaitu menjadikan sistem pemerintahan khalifah dapat diterapkan di negara-negara lainnya terutama negara-negara Barat yang pada umumnya menganut sistem demokrasi.

ISIS banyak melakukan serangan-serangan di kota-kota di negara yang berbeda-beda. Serangan tersebut umumnya dilakukan oleh beberapa anggotanya dengan alasan berjihad. Para jihadis beranggapan ketika ia berhasil membunuh orang yang tidak satu identitas dengan mereka, maka ia mendapatkan janji surga seperti yang diinterpretasikan oleh mereka dari kitab sucinya. Aktor-aktor kebanyakan dalam politik internasional menganggap bahwa ISIS adalah grup teroris. Serangan teror yang dilakukan adalah untuk menyebar ketakutan dan sebuah kekerasan terhadap kemanusiaan. Banyak negara menganggap bahwa ISIS merupakan ancaman eksistensional yang mengancam keselamatan negara serta warga negara yang ada di dalamnya. Serangan terhadap negara membuat negara memiliki keadaan yang tidak stabil sehingga dapat dengan mudah dipropaganda, perekonomian tidak stabil untuk sementara karena shock yang ditimbulkan membuat warga negara panik dan enggan untuk melakukan kegiatan perekonomian untuk sementara waktu, dan juga dengan mudah menyebarkan ketakutan.

ISIS menganggap bahwa sisa dari dunia telah dipenuhi oleh orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan pada ajaran Islam dan mencoba untuk menghancurkan Islam (BBC, 2015). Sehingga hal tersebut menjustifikasi ISIS untuk melancarkan serangan kepada orang-orang yang dianggap akan menghancurkan Islam. Selain itu, tujuan dari ISIS adalah untuk mengubah hukum yang digunakan menjadi hukum Islam. Namun, para Muslim di berbagai negara pun turut mencela ISIS (BBC, 2015). Ajaran-ajaran yang diinterpretasikan berbeda dengan ajaran-ajaran lain yang dianut sebagian besar Muslim, sehingga Muslim di berbagai negara tidak setuju dengan tindakan ISIS.

 

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Amerika Serikat merupakan negara yang sangat vokal dalam menumpas teroris ataupun ancaman-ancaman transnasional dan ancaman-ancaman militer. Berangkat dari trauma yang dialami Amerika Serikat dalam tragedi 9/11 dimana adanya pembajakan pesawat terbang yang menabrak WTC. ISIS yang merupakan cabang dari Al-Qaeda dimana Al-Qaeda merupakan tersangka organisasi transnasional yang melakukan pembajakan pesawat terbang menjadikan Amerika Serikat sangat berkeinginan untuk memusnahkan ISIS. Karena Amerika Serikat menganggap ISIS merupakan ancaman. Tidak hanya Amerika Serikat, namun berbagai negara di dunia bahkan negara-negara Muslim sendiri. Amerika Serikat pada akhirnya memimpin dalam melakukan penyerangan terhadap ISIS. Terdapat koalisi negara-negara yang menentang ISIS untuk melakukan serangan langsung terhadap ISIS. Amerika Serikat adalah salah satu penggerak koalisi tersebut membantu Suriah dalam melawan ISIS.

Dibawah pemerintahan Barack Obama, pada tahun 2014 Amerika Serikat membentuk koalisi bersama 70 negara lainnya untuk memerangi ISIS (Aria, 2020). Koalisi internasional melancarkan beberapa serangan ke wilayah yang telah dikuasai ISIS. Penyerangan terus berlanjut hingga pemerintahan Barack Obama digantikan oleh Donald Trump. ISIS terus menerus mengalami kekalahan di sepanjang tahun 2018 hingga 2019 (Aria, 2020). Syrian Democratic Forces (SDF) dengan bantuan Amerika Serikat pada akhirnya berhasil mengalahkan ISIS.

Kekalahan ISIS membuat banyak anggota ISIS ditahan di penjara Suriah tanpa ada penindakan hukum lebih lanjut. Banyak negara-negara asal anggota yang menolak kepulangan warga negaranya yang pernah bergabung dengan ISIS sehingga nasibnya masih belum diketahui. Beberapa ada yang menetap di pengungsian menunggu keputusan dari negara asalnya untuk memulangkan para pengungsi.

 

SIKAP YANG DIAMBIL OLEH PEMERINTAH INDONESIA

Karakteristik dari masyarakat Indonesia sendiri adalah masyarakat plural dan memiliki banyak keberagaman baik dari segi etnis, budaya, agama, atau prinsip-prinsip yang dianut. Namun, lebih dari itu, masyarakat di Indonesia adalah orang-orang yang sangat mudah panik, mudah terprovokasi, dan mudah mencari kambing hitam dalam setiap permasalahan yang muncul. Dengan adanya karakteristik masyarakat yang seperti itu membuat pemerintah pada akhirnya mengambil kebijakan untuk menolak pemulangan mantan anggota ISIS yang berkewarganegaraan Indonesia dengan alasan keamanan dari ancaman yang akan diakibatkan. Selanjutnya pertanyaan yang kemudian muncul adalah, ancaman yang seperti apa yang akan muncul di kemudian hari jika WNI yang pernah menjadi anggota ISIS dipulangkan?

Cara negara melihat adanya ancaman yang akan datang datang dari ketakutan pemerintah sendiri, selain itu kebijakan yang dibuat dengan justifikasi keamanan negara dan keamanan masyarakat adalah dari pandangan negara sendiri. Negara beranggapan bahwa penolakan kepulangan WNI yang pernah menjadi anggota ISIS merupakan tindakan untuk keamanan warga negaranya – namun bukan warga negara yang pernah menjadi anggota ISIS. Kacamata yang digunakan oleh negara masih merupakan kacamata tradisional. Adanya beberapa kausal pendekatan keamanan tradisional diambil oleh negara dalam masalah keamanan manusia: 1) negara beranggapan bahwa mereka yang paling tahu bagaimana kondisi insecurity diatasi. 2) negara belum melakukan komunikasi dengan warga negaranya, namun mereka merasa sudah mengerti apa yang diinginkan oleh masyarakat. 3) kebijakan yang diterapkan bias kepada warga negara yang berada dalam teritori negara saja, namun tidak melindungi warga negara bekas ISIS yang juga membutuhkan perlindungan.

Tentu saja, ISIS merupakan ancaman eksistensial terhadap kemanusiaan karena serangan-serangan yang pernah dilakukan, namun tidak semua anggota ISIS merupakan kombatan dan fakta bahwa beberapa wanita dijadikan budak seks di ISIS sebenarnya merupakan korban dari kejahatan perdagangan manusia juga butuh untuk dilindungi. Setahun setelah kekalahan ISIS, Kaum Yazidi di Kurdistan masih terbayang-bayang ketakutan (Subramanian, 2020). Sehingga walaupun pernah menjadi anggota ISIS, mereka juga merupakan individu yang butuh untuk dilindungi dari ancaman.

 

KEPENTINGAN NEGARA, KEAMANAN MASYARAKAT VS KEAMANAN TIAP INDIVIDU

Keputusan untuk tidak memulangkan WNI yang pernah bergabung dengan ISIS adalah keputusan yang diambil oleh pemerintah Indonesia dengan alasan untuk menciptakan kondisi yang aman untuk 267 juta warga negara yang berada di Indonesia. Padahal setiap warga negara berhak memperoleh perlindungan dari negaranya termasuk warga negara yang pernah bergabung dengan ISIS. Negara menggeneralisasi bahwa penyebab dari keberangkatannya Warga Negara Indonesia untuk bergabung dengan ISIS semata-mata karena sukarela. Padahal titik permasalahannya tidak hanya dari satu sisi saja, tetapi berbagai macam faktor yang membuat warga negara tersebut menjadi anggota ISIS. Beberapa faktor WNI bergabung dengan organisasi transnasional adalah karena: 1) kurangnya edukasi atau akses edukasi yang susah sehingga membuat individu tersebut mudah untuk dipengaruhi. Edukasi yang dimaksud tidak hanya terbatas tentang ilmu pengetahuan saja namun juga edukasi dalam agama sehingga tidak dengan mudah menginterpretasikan ayat suci tersebut, atau mempercayai orang yang menginterpretasikan ayat-ayat suci. 2) adanya propaganda dari organisasi transnasionalisme yang menyalahgunakan kitab suci demi melancarkan aksinya. Ditambah lagi, kebanyakan bekas anggota ISIS yang berkewarganegaraan Indonesia adalah perempuan dan dalam masyarakat yang patriarkis dimana menganggap perempuan bertugas untuk melayani sang suami, mengikuti jejak suami, ataupun mendukung gerakan jihad akan diberikan janji surga sehingga banyak yang berangkat untuk ‘beribadah’ sesuai dengan interpretasi yang dipercayainya.

Pemerintah disini memiliki peran yang seharusnya dapat memastikan semua warga negaranya mendapatkan akses edukasi yang mudah agar tidak dengan mudah terpengaruh oleh interpretasi-interpretasi yang salah yang hanya digunakan untuk memanfaatkannya. Peran pemerintah sebelum WNI tersebut berangkat untuk bergabung memang sudah gagal karena warga negaranya sudah terancam kondisinya – dalam hal ini ancaman akses edukasi yang susah. Karena pada dasarnya, dalam menangani ketidak amanan bukan dengan pembenahan jangka pendek, tetapi pencegahan dalam jangka panjang (Tadjbakhsh & Chenoy, 2007). Pemerintah Indonesia merasa pengambilan keputusan tersebut tepat untuk mencegah adanya ancaman, namun sikap yang ditunjukkan menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah belum sepenuhnya mengerti titik permasalahan yang muncul. Bahwa sebenarnya individu-individu tersebut sudah terancam jauh sebelum bergabung dengan ISIS. Bahwa individu-individu tersebut justru terancam saat berada di negaranya sendiri.

Sikap negara yang menggeneralisasi WNI yang pernah bergabung dengan ISIS karena mereka sukarela menunjukkan bahwa negara abai terhadap alasan-alasan lainnya. Menganggap bahwa sepenuhnya hal tersebut merupakan salah mereka, karena lebih memilih untuk bergabung dengan organisasi transnasional yang ‘berbahaya’. Bahkan negara belum berkomunikasi dengan warga negaranya yang pernah bergabung untuk mengetahui alasan-alasan sebenarnya atau kondisinya pasca bergabung. Tetapi negara merasa bahwa negara sudah mengetahui segala alasan yang ada dengan generalisasi alasan-alasan tersebut lalu membuat suatu kebijakan yang masih state-centric dan menjadikan kebijakan itu sebagai konsekuensi yang harus diterima oleh mantan anggota ISIS karena pilihannya. Disebut state-centric karena walaupun pemerintah memiliki alaan keamanan kolektif negara dan masyarakat, namun pemerintah tidak berkomunikasi dengan masyarakat dulu sehingga kebijakan tersebut muncul top-down­ bukan bottom-up dari keinginan masyarakat. Nyatanya, tidak semua masyarakat menyetujui kebijakan tersebut. Banyak masyarakat yang meminta agar pemerintah memulangkan warga negara yang pernah menjadi anggota ISIS karena alasan kemanusiaan. Sehingga pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia bukanlah pendekatan keamanan manusia.

Kebijakan dalam menolak individu-individu yang pernah bergabung dengan ISIS didasarkan karena untuk keamanan warga negara yang berada di Indonesia, namun lebih dari itu, pemerintah takut akan adanya ancaman ideologi ISIS yang disebarkan oleh mantan anggota ISIS jika mereka dipulangkan. Atau bahkan dalam kemungkinan terburuk, pemerintah takut nantinya akan ada pemberontakan untuk mengganti ideologi Indonesia dan pemerintahannya. Bagaimanapun, kepentingan negara adalah untuk melindungi ideologi mereka dan prinsip-prinsip yang telah dipegang oleh Indonesia. Sehingga sebenarnya, alasan pemerintah Indonesia tidak memulangkan warga negara yang pernah bergabung dengan ISIS tidak hanya karena alasan keamanan masyarakat tetapi keamanan kepentingan nasional Indonesia sendiri. Namun berangkat dari banyaknya asumsi-asumsi negara mengenai bahayanya bekas anggota ISIS, negara hanya berasumsi tanpa pernah berkomunikasi dengan bekas anggota ISIS tersebut.

Solusi yang ditawarkan oleh pendekatan keamanan manusia adalah sebenarnya berawal dari memperbaiki akses eduksi agar lebih mudah untuk diakses masyarakat. Sistem edukasi yang benar seperti mengajarkan untuk tidak mudah terpengaruh, tidak mudah untuk percaya terhadap interpretasi-interpretasi yang salah. Karena keamanan manusia mencegah ketidak amanan dalam jangka panjang, bukan hanya menangani ancaman dalam jangka pendek saja ((Tadjbakhsh & Chenoy, 2007). Sehingga, untuk menangani hal tersebut, perlu adanya perbaikan sistem agar warga negara merasa aman di dalam negaranya sendiri dan tidak pergi untuk mencari ‘keamanan’.

Ketika WNI yang pernah menjadi bagian dari ISIS dipulangkan, memang akan terjadi dilemma dalam masyarakat. Ada masyarakat yang menerima kepulangan WNI yang pernah menjadi bagian dari ISIS, ada masyarakat yang menolak mereka dan akan memberikan sanksi sosial. Sebaliknya, WNI yang pernah menjadi bagian dari ISIS juga merasa insecure akan sanksi sosial yang diterimanya. Sehingga akan terjadi clash of insecurity di dalam lingkaran masyarakat. Namun lebih dari itu, fungsi dari negara adalah untuk menciptakan keamanan untuk seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Sebelum memulangkan WNI yang pernah bergabung dengan ISIS, negara dapat berkomunikasi terlebih dahulu dengan WNI tersebut, memberikan edukasi dan memberlakukan deradikalisasi selama beberapa bulan sebelum dilepaskan di masyarakat. Selain itu, pemerintah juga melakukan komunikasi dengan masyarakat untuk memberikan pengertian mengenai solusi yang akan diberlakukan. Hal tersebut memanglah membutuhkan proses yang cukup lama. Namun, begitulah fungsi negara yang ideal, negara yang mampu memberikan keamanan kepada setiap warga negaranya. Termasuk WNI yang pernah bergabung dengan kelompok jihadis juga perlu mendapatkan keamanan karena jika mereka tidak dipulangkan, maka ancaman-ancaman seperti perdagangan manusia, kelaparan, lack of education, kesehatan yang buruk, serta pembunuhan akan rentan dialami oleh mereka karena mereka stateless dan hidup terlantar.

KESIMPULAN

Cara pemerintah mengatasi suatu solusi tanpa adanya komunikasi terlebih dahulu dengan warga negaranya adalah cara pandang yang masih state-centric bahwa negara menganggap negara tahu apa yang dibutuhkan oleh warga negaranya. Namun, pada faktanya tidak semua warga negara mendapatkan hak keamanannya melalui kebijakan penolakan pemulangan WNI yang pernah bergabung dengan ISIS. Warga negara yang pernah bergabung dengan ISIS tidak mendapatkan keamanan dari negaranya bahkan negaranya sendiri menganggap WNI tersebut sebagai ancaman eksistensial dan tidak menganggap mereka sebagai warga negaranya. Padahal jika dilihat lebih dalam, titik permasalahan dalam keamanan manusia ini tidak hanya dari terorisme dan semacamnya, namun jauh sebelum warga negara bergabung dengan ISIS, keamanannya sudah terancam dalam negaranya sendiri.

Dengan generalisasi yang dilakukan pemerintah tanpa ingin mengetahui lebih dalam soal warga negara yang pernah bergabung dengan ISIS, menjadikan pemerintah terlihat sangat abai terhadap akar permasalahan yang sebenarnya. Menjadikan pemerintah hanya fokus terhadap satu ancaman saja, namun mengabaikan ancaman yang akan terjadi pada WNI yang dulunya pernah menjadi bagian ISIS. Keamanan manusia melihat hal tersebut sebagai permasalahan yang harusnya diselesaikan tidak dengan kebijakan yang bias dan solusi short-term saja, tetapi harusnya ada solusi yang berguna sebagai pencegahan di long-term.

 

REFERENSI

Aria, Pingit. 2020. Ditolak Pulang, Sejarah Kebangkitan Hingga Kehancuran ISIS (daring). Tersedia di https://katadata.co.id/amp/berita/2020/02/06/ditolak-pulang-sejarah-kebangkitan-hingga-kehancuran-isis. Diakses pada 20 Maret 2020.

BBC News. 2015. What Is ‘Islamic State’? (daring). Tersedia di https://www.bbc.com/news/world-middle-east-29052144. Diakses pada 20 Maret 2020.

Elbaum, Rachel. 2018. What Is ISIS? What You Need To Know About Islamic State in Iraq and Syria (daring). Tersedia di https://www.nbcnews.com/news/amp/ncna859996. Diakses pada 20 Maret 2020.

Subramanian, Lakshmi. 2020. This Former Yazidi ISIS Sex Slave Hopes For Her Husband’s Return (daring). Tersedia di http://theweek.in/news/world/2020/01/10/exclusive-this-former-yazidi-sex-slave-hopes-for-her-husbands-return-.amp.html. Diakses pada Maret 21 Maret 2020.

Tadjbakhsh, Shahrbanou & Anuradha Chenoy. 2007. Human Security: Concepts and Implications. New York: Routledge.

Comments

Popular Posts