PENGARUH BUDAYA POPULER TERHADAP GAYA DIPLOMASI MODERN

 

PENDAHULUAN

               Semakin berkembangnya Hubungan Internasional sebagai studi ilmu menjadikan Studi Hubungan Internasional semakin memiliki beragam disiplin ilmu salah satunya Diplomasi. Diplomasi tidak dapat dipisahkan dengan Hubungan Internasional dan Studi Sejarah karena memang memiliki keterkaitan yang dekat. Dalam teori realisme dan liberalisme, diplomasi dilihat sebagai instrumen dalam hubungan internasional yang mana hal itu diejawantahkan dalam praktek diplomasi ketika para aktor merespon suatu tindakan atau insentif-insentif dalam politik.

Seiring berkembangnya waktu, diplomasi semakin berkembang luas. Pada prakteknya, diplomasi pada akhirnya tidak hanya terbatas dilakukan oleh seorang diplomat dengan pakaian yang formal dan pada pertemuan yang formal, tetapi masyarakat dapat ikut serta dalam berdiplomasi, memperkenalkan budaya negaranya, atau kegiatan-kegiatan diplomasi lainnya. Terdapat beberapa budaya yang pada akhirnya menjadi tren di suatu negara dapat dijadikan daya tarik untuk melakukan diplomasi. Karena budaya populer yang akhirnya muncul di suatu negara mempengaruhi cara berpikir dan cara bertindak masyarakat dalam suatu wilayah, memunculkan kebiasaan baru yang juga mempengaruhi diplomasi modern. Lalu apakah perbedaan diplomasi lama dengan diplomasi modern? Apakah yang sebenarnya disebut dengan budaya populer dan bagaimana budaya populer dapat memengaruhi gaya diplomasi modern? Selain itu, apa yang disebut dengan gaya diplomasi?

SEJARAH DIPLOMASI DAN PERKEMBANGANNYA

Diplomasi telah ada semenjak bahkan belum terbentuknya sistem negara bangsa atau nation-state. Tercatat praktek diplomasi pertama kali dilakukan pada peradaban Sumeria yang terdiri dari beberapa kerajaan sehingga mereka mengirimkan perwakilan ketika ada suatu keadaan yang memerlukan pengutusan perwakilan yang dalam diplomasi modern disebut seorang diplomat. Perihal tempo yang berlangsung dalam pengutusan perwakilan dalam kegiatan diplomasi, diplomasi sebelum terbentuknya negara bangsa hanya akan mengirim utusan atau perwakilannya ketika ada suatu kondisi yang memerlukan adanya perwakilan untuk menyelesaikannya sehingga kurun waktunya temporary. Berbeda dengan diplomasi modern setelah terbentuknya negara bangsa yang menempatkan perwakilan negara secara permanen.

Diplomasi modern pada akhirnya terus berkembang dari tahun ke tahun. Karena adanya Perjanjian Wastphalia yang pada akhirnya menjadi alasan terbentuknya negara bangsa, maka negara tidak lagi dapat dengan mudah mencaplok suatu wilayah dari negara lain. Wilayah pada akhirnya menjadi hal fundamental yang harus dilindungi oleh negara pun tidak boleh melanggar wilayah negara lain. Wilayah menunjukkan suatu kedaulatan dimana negara memiliki kedaulatan atau otoritas penuh atas wilayah yang dimilikinya dan negara lain tidak boleh melanggar hal tersebut. Kedaulatan tidak hanya sebuah etika dalam politik internasional namun ia juga suatu aturan hukum yang legal dimana telah diatur dalam hukum internasional.

Diplomasi modern kini telah menjadi hal penting dalam hubungan internasional karena para aktor selalu membutuhkan diplomasi untuk mencapai kepentingannya karena diplomasi mengejawantahkan kepentingan nasional suatu negara. Diplomasi tidak mungkin bertolak belakang dengan kepentingan nasional yang dimiliki oleh negaranya. Kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri dapat diraih tergantung dari bagaimana diplomasi dilakukan atau diimplementasikan. Kebijakan luar negeri dan diplomasi sering diperlakukan sebagai komponen yang saling terhubung  dalam sebuah proses yang mana tujuan kebijakan diarahkan pada pengelolaan hubungan dengan lingkungan internasional aktor diterjemahkan ke dalam hasil melalui penggunaan berbagai teknik dan strategi yang dilembagakan dimediasi melalui serangkaian pembangunan struktur, aturan, dan norma (Constantinou, 2016). Pada saat yang sama, diplomasi berfokus pada interaksi antara aktor daripada aktor sendiri, yang merupakan fokus kebijakan luar negeri (Constantinou, 2016).

Berkaitan dengan gaya diplomasi, yang dimaksud dengan gaya diplomasi itu sendiri adalah bagaimana praktek diplomasi dilakukan. Dalam diplomasi modern ini menjadikan praktek diplomasi tidak sempit hanya state-centered saja, namun diplomasi dapat dilakukan oleh warga negara atau individu sehingga semua orang dapat berkontribusi dalam kegiatan diplomasi. Karena praktek diplomasi sudah lebih fleksibel, maka diplomasi tidak hanya dilakukan dalam balutan keformalan, tetapi dapat kapan saja. Gaya diplomasi pun pada akhirnya juga semakin terpengaruh dari waktu ke waktu. Banyak pengaruh yang dapat menjadikan gaya diplomasi berubah salah satunya adalah budaya populer. Budaya populer dapat menjadi faktor gaya diplomasi berubah terlebih lagi budaya populer bersifat temporary.

BUDAYA POPULER

Manusia hidup berdampingan dengan manusia lain membentuk tatanan sosial dan membentuk suatu kebiasaan. Kebiasaan tersebut kemudian dilakukan secara rutin sehingga menjadi suatu budaya. Budaya yang diciptakan manusia akan menemui banyak perubahan. Budaya-budaya yang tradisional dan konservatif umumnya akan bertahan di kalangan generasi tua saja. Dalam essaynya Delaney (2007) membagi budaya menjadi dua yaitu budaya folk atau high culture dan budaya populer. Budaya-budaya yang umumnya konservatif, berkembang di masyarakat, dan tidak dikomersilkan masuk ke dalam budaya folk. Sedangkan budaya populer merupakan suatu budaya baru yang dibuat untuk mengekspresikan kebosanan terhadap budaya folk atau high culture. Umumnya, budaya populer adalah budaya modern yang memengaruhi gaya hidup dan biasanya budaya populer mengalami ketenarannya dalam kurun waktu tertentu.

Karena kepopulerannya dan sifatnya yang mudah diterima oleh masyarakat, budaya populer pada akhirnya sangat mudah memengaruhi gaya hidup seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, budaya populer terbukti mampu memengaruhi banyak aspek seperti gaya belajar, cara berpikir, dan bahkan gaya diplomasi suatu negara. Gaya diplomasi suatu negara akan dipengaruhi oleh budaya populer karena diplomasi modern mengikuti perkembangan zaman yang dinamis. Jika dahulu, gaya diplomasi suatu negara benar-benar memiliki pembahasan politik tinggi atau high-politics, sehingga apa yang dibahas adalah tentang perdamaian, perang, konflik, dan isu-isu lainnya. Maka seiring berkembangnya zaman dan budaya populer yang semakin masif berada di kehidupan warga negara membuat perubahan terhadap gaya diplomasi modern yang mana pada akhirnya tidak hanya fokus terhadap isu-isu politik tinggi, tetapi fokusnya bertambah menjadi isu-isu politik rendah atauyang lebih dikenal dengan low-politics. Isu-isu low-politics didalamnya terdapat beberapa bidang seperti pendidikan, isu HAM, kelas-kelas sosial, dan juga budaya.

Budaya populer yang akhirnya merubah banyak gaya hidup seorang individu ikut dapat merubah gaya diplomasi yang modern. Budaya populer memiliki peranan yang sangat penting dalam diplomasi untuk memperkenalkan suatu negara. Sifat diplomasi pada akhirnya berubah dan lebih mengarah kepada manajemen hubungan antara negara dengan aktor lain yang tidak harus negara (Barston, 1997). Ketika budaya populer suatu negara berhasil dikonsumsi oleh negara lain, maka negara lain akan dengan mudah mengingat-ingat negara tersebut ketika merasakan budaya populernya. Contohnya seperti ketika minuman Boba yang berasal dari Taiwan tersebar ke seluruh wilayah Indonesia, maka masyarakat serta pemerintah Indonesia akan mengingat Taiwan ketika mendengar kata Boba karena merupakan budaya populernya. Karena Taiwan mudah diingat maka akan dengan mudah Taiwan bekerjasama dengan Indonesia karena memiliki keterikatan melalui Boba.

Sehingga, mengapa budaya populer dapat efektif memengaruhi gaya diplomasi karena sifatnya yang mudah diterima oleh masyarakat. Masyarakat kemudian melakukannya lagi dan lagi hingga membentuk gaya hidup baru. Karena gaya hidup telah berubah dan budaya populer sangat menjadi erat dengan masyarakat ditambah dengan adanya globalisasi yang mempermudah perpindahan barang dan informasi dari satu tempat ke tempat lain menjadikan budaya populer mudah ditransfer. Dengan demikian, negara memiliki kesempatan untuk lebih dikenal dan diingat oleh masyarakat negara lain oleh karena itu budaya populer efektif mengubah fokus diplomasi dari politik tinggi menjadi politik rendah serta gaya diplomasi yang dulunya hanya diwakilkan oleh representasi negara dengan formal dan sekarang dapat dilakukan oleh individu, golongan, atau entitas lain kepada yang lainnya diluar negaranya. Budaya populer yang berkembang dan erat dengan masyarakat akhirnya dibawa oleh masyarakat ke negara lain atau memperkenalkannya ke negara lain sehingga masyarakat pada akhirnya dapat melakukan praktik diplomasi.

Selain itu, di era kontemporer apalagi pada negara-negara yang demokratis, opini publik semakin dianggap hal yang penting. Opini publik dapat mempengaruhi kebijakan di suatu negara. Dengan adanya budaya populer tentu yang disasar dan yang menjadi tujuan adalah bagaimana untuk mempengaruhi mayarakat di negara lain dengan mempengaruhi gaya hidup dan pemikiran-pemikiran publik dengan budaya populer yang disebarkan. Ketika pemikirian publik berhasil dipengaruhi, maka negara dapat dengan mudah juga mempengaruhi kebijakan pemerintahnya karena opini publik yang dianggap sebagai hal penting dalam era globalisasi dan demokratisasi. Sehingga pemerintah akan mempertimbangkan opini publik untuk melakukan suatu kebijakan.

CARA DIPLOMASI YANG SERING DIGUNAKAN KARENA BUDAYA POPULER

Karena adanya budaya populer, pendidikan, dan isu-isu politik rendah membuat cara-cara berdiplomasi berbeda dengan diplomasi yang tradisional. Jika dulu, diplomasi lebih ke acara yang formal dengan pakaian yang sesuai dengan etika, sekarang diplomasi lebih santai dan pendekatan yang dilakukan lebih fleksibel. Diplomasi biasanya juga digunakan untuk menjalankan agenda pengaruh soft power. Sehingga diplomasi menjadi lebih lunak dari yang sebelumnya. Pada diplomasi modern, menjadi lebih mengedepankan instrumen-instrumen yang merupakan bagian dari kekuatan lunak seperti menggunakan budaya untuk diplomasi sebagai bargaining power. Soft power adalah kemampuan atas pembentukan preferensi negara lain, tanpa dilakukan pemaksaan, kekerasan, tapi melalui cara-cara yang tidak dapat diukur seperti nilai-nilai politik, institusi-institusi, dan kebijakan-kebijakan yang dilihat sebagai legitimasi atau sesuatu yang memiliki otoritas moral (Nye, 2008).

Cara yang dilakukan seperti diplomasi publik, diplomasi warga negara, diplomasi selebriti dan masih banyak lagi lebih sering digunakan dalam menyebarkan budaya populer. Diplomasi publik dilakukan untuk dapat mempengaruhi publik di negara lain sehingga pemikiran dan gaya hidup publik di suatu negara karena opini publik yang dianggap penting. Diplomasi publik dianggap sebagai instrumen kunci dari soft power (Constantinou, 2016). Karena diplomasi publik cukup efektif untuk dapat menjadi alat penyebaran pengaruh budaya ke publik asing.

Diplomasi warga negara juga cukup efektif dalam penyebaran budaya populer ke negara lain. Diplomasi warga negara atau dalam bahasa inggris disebut sebagai citizen diplomacy menjadi gaya diplomasi modern yang baru dan dapat pula menjadi alternatif yang efektif. Diplomasi warga negara menjadikan warga negara dapat ikut berperan dalam melakukan kegiatan diplomasi yang dulunya hanya dilakukan oleh diplomat sebagai representasi negaranya dengan menghadiri acara formal. Dalam diplomasi modern, membuat warga negara dapat menjadi ‘diplomat warga negara’ (Constantinou, 2016). Istilah diplomasi warga negara atau citizen diplomacy merupakan hal yang baru dalam Studi Diplomasi. Ia lumayan baru dan menjadi lebih terkenal setelah digunakan oleh Hillary Clinton (Gregory; Constantinou, 2016). Dengan adanya globalisasi menjadi memberikan kemudahan barang dan bahkan manusia untuk berpindah tempat melintasi batas negara. Hal ini yang dapat membantu penyebaran budaya oleh warga negara yang melintasi batas negara sehingga berada di negara lain dan warga negara menyebarkan budaya populer yang ada di negaranya ke penduduk negara lain.

Selain diplomasi publik dan diplomasi warga negara, ada juga diplomasi selebriti. Diplomasi selebriti lebih menekankan ke penyebaran budaya atau pengikutsertaan orang yang terkenal untuk engage dalam kebijakan luar negeri dengan menjadi salah satu aktor dalam berdiplomasi – dalam hal ini gaya diplomasi modern. Selebriti yang memiliki popularitas akan dapat dengan mudah mempengaruhi publik, opini, dan kebiasaan. BTS, sebuah grup band dari Korea Selatan terbukti dapat mempengaruhi para remaja untuk mencintai dirinya sendiri setelah BTS menjadi tamu di UNICEF. Diplomasi selebriti dinilai cukup efektif dalam menyebarkan budaya pop karena banyak orang yang akan memperhatikan orang-orang terkenal. Contoh lain yaitu Didi Kempot yang dijuluki Godfather of Broken Heart yang sangat terkenal di Suriname dengan karya-karyanya yang tergolong merupakan budaya populer.

STUDI KASUS

Bila melihat negara mana yang benar-benar sukses dalam mempromosikan budaya populernya, maka kebanyakan orang akan menjawab Korea Selatan sebagai negara yang sangat sukses dengan budaya populer dan keseniannya sebagai instrumen diplomasi yang merupakan instrumen soft power yang terkenal. Seluruh elemen masyarakat turut serta dalam mempromosikan budaya populer dari mulai pemerintah, warga negara, pebisnis, dan bahkan selebriti. Bahkan banyak sekali budaya populer Korea Selatan yang berhasil menjadi budaya populer di banyak negara seperti entertainment, makanan, alat kecantikan, dan fashion. Banyak industri-industri hiburan yang akhirnya menyasar pasar luar negeri selain untuk mendapatkan keuntungan, penyasaran pasar luar negeri ditujukan untuk dominasi Korea Selatan dalam soft power.

Kesuksesan Korean Wave bukan secara tidak sengaja terjadi (Oh & Mooweon, 2016). Ada tujuan lain dibalik masifnya penyebaran gelombang korea. Kesuksesan gelombang Korea dapat terjadi karena seluruh elemen masyarakat mendukungnya bahkan dijadikan sebagai kebijakan luar negeri. Hal ini membuktikan bahwa tujuan dibalik pemerintah menjadikan gelombang Korea menjadi sebuah kebijakan adalah karena pemerintah Korea Selatan sadar bahwa budaya populer adalah instrumen yang efektif dalam mempengaruhi publik karena sifatnya yang menyenangkan dan mudah diterima.

Karena budaya populer tersebut, gaya diplomasi Korea Selatan menjadi berubah. Jika dahulu Korea Selatan menggunakan diplomasi yang keras atau hard diplomacy. Hard diplomacy atau diplomasi perang yang dimainkan oleh Korea Selatan dan Korea Utara politik luar negeri masing-masing negara (Permana, 2018). Namun hal tersebut sudah lama tidak digunakan lagi oleh Korea Selatan karena adanya budaya pop yang membuat gaya diplomasi Korea Selatan bergeser menggunakan pendekatan yang lebih lunak dan juga gaya diplomasinya mengikuti fleksibilitas budaya populer sehingga gaya diplomasinya tidak lagi terbatas pada pertemuan formal antar diplomat yang merepresentasikan negaranya. Korea Selatan pada akhirnya menggunakan diplomasi publik, diplomasi warga negara, dan juga diplomasi selebriti.

Diplomasi publik Korea Selatan dilakukan cukup baik oleh pemerintah Korea Selatan seperti menyelenggarakan festival makanan, festival budaya, atau festival musik di publik negara lain sehingga lebih memperkenalkan budaya populer ke publik. Di Indonesia sendiri, pemerintah Korea Selatan mendirikan King Sejeong Institute untuk publik agar dapat dengan mudah menyebarkan budaya Korea lewat institusi. Selain diplomasi publik, Korea Selatan juga menggunakan diplomasi warga negara sehingga ketika warga negaranya pergi ke negara lain, ia dapat menyebarkan budaya populer dari Korea Selatan kepada masyarakat di negara lain. Korea Reomit atau yang bernama asli Jang Hansol merupakan orang yang berkewarganegaraan Korea Selatan yang tinggal di Indonesia yang memperkenalkan gaya hidup dan budaya-budaya di Korea Selatan melalui konten-konten yang diciptakannya di akun YouTube-nya. Jang Hansol ikut berberan dalam menyebarkan budaya Korea Selatan yang mana ia merupakan ‘diplomat warga negara’.

Pendekatan terakhir adalah diplomasi selebriti. Sangat jelas sekali dalam drama korea atau variety show yang diproduksi sangat mempromosikan budaya-budaya populer Korea Selatan seperti makanan yang ditayangkan dan dimakan oleh selebriti, fashion Korean look yang dikenakan, dan alat kecantikan Korea Selatan benar-benar dipromosikan secara masif oleh para selebriti Korea. Selebriti Korea yang memiliki basis penggemar yang berada di seluruh dunia akhirnya dengan mudah mempengaruhi penggemarnya untuk meniru atau melakukan hal yang serupa dengan idolanya. Mereka akhirnya membeli barang-barang yang serupa atau yang berhubungan dengan idolanya demi menjadi penggemar yang ‘baik’. Tentu saja, promosi kebudayaan yang dilakukan selebriti sangat memberikan hasil yang benar-benar bagus.

Semua pendekatan yang dilakukan tidak lain adalah bertujuan agar dapat mempengaruhi pemikiran publik bahwa mereka bergantung pada Korea Selatan sehingga Korea Selatan memiliki bargaining position yang cukup dapat dipertimbangkan karena publik menyukai budayanya. Diplomasi-diplomasi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun warga negara bertujuan untuk lebih memperkenalkan Korea Selatan kepada publik negara lain.

KESIMPULAN

Gaya diplomasi modern ternyata sangat terpengaruhi oleh budaya populer yang berkembang. Dengan adanya budaya populer, membuat gaya diplomasi yang dulunya sangat state-centric menjadi lebih fleksibel dan lebih inklusif. Semua orang dapat berpartisipasi dalam melakukan kegiatan diplomasi dan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperkenalkan budayanya kepada negara lain.

Korea utara merupakan negara yang sangat dengan masif mempromosikan budaya populernya melalui kebijakan luar negeri yang banyak meng-embrace penyebaran dan perkenalan budaya ke negara lain, namun tidak hanya pemerintah yang melakukannya, warga negara bahkan selebriti yang memiliki banyak penggemar di dunia ikut merealisasikan kebijakan luar negeri Korea Selatan dengan melakukan diplomasi publik. Hal ini menjadikan Korea Selatan memiliki bargaining position yang cukup dipertimbangkan karena banyak opini publik di negara lain vokal dengan Korea Selatan.

 

REFERENSI

Barston, R. P. 1997. Modern Diplomacy. England: Pearson Education

Constantinou, Costas M. dkk. 2013. The SAGE Handbook of Diplomacy. London: SAGE Publications Ltd.

Delaney, Tim. 2007. Pop Culture: An Overview (daring). Tersedia di https://philosophynow.org/issues/64/Pop_Culture_An_Overview. Diakses pada 28 April 2020.

Nye, Joseph. 2008. Public Diplomacy and Soft Power. Annals of the American Academy of Political and Social Science.

Oh, Won-Yong & Mooweon Rhee. 2016. “K-pop’s Global Success Didn’t Happen by Accident” (daring) Tersedia di https://hbr.org/2016/11/k-pops-global-success-didnt-happen-by-accident. Diakses pada 1 Mei 2020.

Permana, Yedi. 2018. Diplomasi Olimpiade Semenanjung Korea (daring) Teredia di https://m.detik.com/news/opini/d-3810383/diplomasi-olimpiade-semenanjung-korea. Diakses pada 1 Mei 2020.

Comments

Popular Posts