Gender, War, and Femininity

 

Studi Gender muncul karena ada sebuah kesadaran yang akhirnya terangkat bahwa konstruksi mengenai gender tidak baik dalam penerapannya. Masyarakat pada akhirnya menciptakan standarisasi yang harus diikuti dan diterapkan serta menjadi sebuah penilaian terhadap sesuatu. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, telah tercipta gender gap dan semua kegiatan ataupun pekerjaan telah digenderisasi. Genderisasi yang sering terjadi bermuara pada opresi sosial terhadap beberapa kelas yang dianggap inferior. Muncul opresi-opresi dari masyarakat karena ada golongan-golongan yang dianggap sesuatu yang buruk dan melenceng dari standar yang diberikan oleh masyarakat. Opresi tersebut yang kemudian menjadi masalah yang muncul karena ada pembedaan mana yang lebih baik dan mana yang tidak lebih baik.

Seringkali, orang-orang akan mencoba untuk catch-up untuk menjadi seperti golongan-golongan yang dianggap lebih baik, daripada harus menerima dirinya agar dapat diterima oleh masyarakat dan tidak lagi menjadi golongan yang teropresi. Padahal, titik permasalahan bukan pada pembebasan diri dari opresi yang ada dengan menjadi apa yang diminta oleh masyarakat, namun dengan rekonstrusi pemikiran masyarakat mengenai golongan-golongan yang dianggap sebagai inferior dan menjadi setara. Karena ketika tujuannya hanya ingin bebas dari opresi dengan cara menjadi golongan yang tidak diopresi, maka sama halnya dengan membiarkan opresi terus terjadi kepada orang-orang yang belum tentu sanggup untuk keluar dari lingkaran tersebut. Orang-orang yang tidak memiliki privilege akan terus teropresi dan opresi akan terus ada.

Perempuan dalam perang juga merupakan bentuk dari opresi. Seringkali, perempuan dijadikan sebagai ‘alat’ untuk peperangan. Dalam tulisan ini akan mmembahas analisis bagaimana dan apa yang mengakibatkan pemerkosaan dijadikan sebagai alat perang dari perspektif gender.

GENDER AND WAR

Sebelum membahas tentang peperangan, jika ditelaah lebih kritis lagi, maka sebagian besar kegiatan telah digenderisasi. Bahkan, dalam perang sekalipun gender masih berperan besar. Melihat sebuah kasus yang mana dalam peperangan, hal yang dianggap umum adalah menjadikan pria sebagai prajurit. Pria yang dianggap sebagai sosok kuat dan rasional akan sangat membantu lebih daripada menjadikan wanita sebagai prajurit yang pada konstruksinya, wanita dianggap lemah, emosional, dan tidak dapat memimpin. Maka ada korban-korban konstruksi masyarakat yang sebenarnya ia tidak memiliki nilai-nilai yang dipakai untuk standarisasi membuat mereka harus mengorbankan nilai-nilai orisinil dari dirinya sendiri. masih sangat jarang sekali terdengar bahwa suatu negara menjadikan perempuan sebagai prajurit perang padahal ada wanita yang berorientasi menjadi seorang prajurit. Selain hal tersebut, pria juga menjadi korban bahwa ketika ia tak ingin menjadi prajurit dalam peperangan, ia dipaksa hanya karena ia memiliki alat reproduksi biologis sebagai pria dan sifatnya dikonstruksikan untuk menjadi orang yang maskulin.

Lantas menyoal tentang peperangan, ada hak-hak sipil dan imunitas seorang warga sipil untuk dilindungi dan tidak dijadikan sebagai objek ataupun subjek peperangan. Sehingga warga sipil memiliki hak untuk dilindungi dari peperangan. Namun seringkali, wanita memiliki situasi yang berbahaya dalam peperangan. Wanita sering dijadikan sebuah ‘alat’ yang untuk peperangan. Pemerkosaan digunakan sebagai senjata perang oleh para musuh untuk menunjukkan dominasi dan relasi kekuasaan yang tercipta dalam peperangan. Para musuh menggunakan pemerkosaan untuk menunjukkan bahwa mereka lebih kuat dan lebih berkuasa sehingga hal tersebut membawakan teror dan ketakutan kepada korban pemerkosaan. Pemerkosaan dalam perang tidak hanya digunakan sebagai alat perang, tetapi juga digunakan sebagai strategi militer untuk menghilangkan suatu etnis. Alasan lainnya adalah dalam perang ketika para pelaku pemerkosaan ini dapat memperkosa warga sipil, maka ia ingin menunjukkan bahwa para prajuritnya telah gagal mlindungi warga sipilnya.

Sementara peluru, bom, dan pedang menjadi berita utama, tubuh wanita tetap menjadi medan perang yang tak terlihat (Wallstrom, 2010). Warga sipil harusnya mendapatkan perlindungan keamanan dari pihak yang berperang untuk tidak menjadi korban peperangan. Pada faktanya, pemerkosaan dalam peperangan masih belum dapat dibasmi layaknya hal tersebut merupakan budaya yang terus menerus harus dilakukan. Akibatnya adalah banyak korban yang pada akhirnya ketakutan, memiliki trauma psikis, bahkan yang tidak dapat menggugurkan kandungannya, ia harus bertahan sampai melahirkan dan menelantarkan si anak. Kejahatan perang ini sangat perlu untuk dihindari. Bahkan sampai saat ini kejahatan pemerkosaan dalam peperangan masih dilakukan.

GENDER AND FEMINITY

Feminitas seringkali disalah artikan sebagai sifat given seorang wanita. Sehingga konstruksi yang muncul adalah wanita seringkali dianggap sebagai orang yang lebih lemah dari laki-laki yang sering dianggap sebagai maskulin. Hal itu kemudian mengakibatkan sebuah dikotomi gender dan adanya genderisasi yang muncul dalam berbagai kegiatan ataupun dalam pembagian sifat-sifat lainnya. Tanpa disadari, pendikotomian gender ini merusak sifat asli dari pria maupun wanita. Karena ketika ada standarisasi pria harus menjadi maskulin dan wanita harus menjadi feminin, maka ketika pria memiliki nilai-nilai feminitas dan wanita memiliki nilai-nilai maskulinitas akan dianggap ‘cacat’ dan tidak memenuhi standar yang diberikan masyarakat. Racun tersebut kemudian mengendap pada pemikiran masyarakat sehingga yang terjadi adalah opresi dari masyarakat yang memenuhi standar kepada mereka yang dianggap ‘cacat’.

Feminitas akan terus dianggap lemah dan tidak diizinkan untuk berada dalam publik atau menjadi pemimpin. Sedangkan maskulinitas akan terus dianggap pantas untuk menajdi pemimpin dan idealnya ia memang harus dijadikan sebagai pemimpin. Namun, ada beberapa orang yang dianggap maskulin – dalam hal ini yang sering direlasikan dengan pria yang sebenarnya tidak memiliki orientasi sebagai pemimpin seringkali dipaksa untuk menjadi seseorang yang dapat memimpin. Masyarakat menganggap hal tersebut merupakan sebuah common sense yang memang harus diwujudkan. Sehingga hal tersebut sebenarnya menyiksa pria yang tidak memiliki nilai-nilai menjadi pemimpin, tetapi harus memimpin hanya karena ia pria. Common sense ini pula telah menyakiti wanita yang berorientasi untuk menjadi pemimpin namun tidak diperbolehkan karena ia wanita.

Studi gender melihat hal tersebut sebagai ketimpangan gender. Studi gender melihat hal tersebut sebagai konstruksi yang bermasalah. Karena pada akhirnya, akan selalu ada yang dianggap sebagai superior dan ada yang dianggap sebagai inferior. Selain itu, ketika wanita memiliki kepemimpinan yang baik, ia selamanya tidak akan dapat menjadi seorang pemimpin karena konstruksi mengatakan bahwa wanita tidak seharusnya menjadi pemimpin. Penstudi gender melihat banyaknya opresi yang datang karena adanya ketidak setaraan gender. Maka, perjuangan penstudi gender adalah memperjuangkan kesetaraan gender agar gender yang dianggap inferior dapat setara. Perjuangan gender sebenarnya memiliki prinsip yang sama dengan perjuangan kiri karena perjuangan gender memiliki prinsip ingin menghapus kelas-kelas sosial yang gender-centric agar tidak lagi ada inequality di gender.

Feminisme beranggapan bahwa feminitas seharusnya tidak dianggap sebagai nilai-nilai yang inferior. Perjuangan yang dilakukan oleh feminis adalah perjuangan yang memiliki tujuan besar untuk merekonstruksi pikiran masyarakat dari anggapan gender mana yang lebih superior. Merupakan racun yang membahayakan jika masyarakat terus menerus terpaku untuk melanggengkan peran gender. Namun, ada banyaknya opresi-opresi yang tidak hanya menyoal tentang gender saja. Perlu digaris bawahi, bahwa perjuangan feminisme tidak semata-mata hanya melepaskan relasi kuasa antara pria dan wanita saja namun perjuangan feminis juga tentang bagaimana membebaskan kaum-kaum yang lemah dan yang teropresi. Sehingga ketika feminis hanya memperjuangkan perjuangan wanita saja dan tidak mempedulikan opresi lainnya, maka hal tersebut menjadi anti-thesis dari perjuangannya (Karina, 2020).

RELASI GENDER, WAR, AND FEMINITY

Dalam kewarganegaraan dan nasionalisme yang masih sangat gender-centric membuat pembuatan kebijakan-kebijakan masih bias dengan satu gender. Ataupun norma-norma masyarakat yang ada masih sangat digenderisasi. Sama halnya dengan bagaimana keamanan nasional dan perang yang masih digenderisasi. Tanpa disadari, peran gender akan selalu ada dalam setiap pembuatan kebijakan atau dalam setiap kegiatan. Ketika peran gender selalu ada, maka akan ada pendikotomian yang berujung pada standarisasi. Standarisasi tersebut kemudian berubah menjadi penghakiman kepada seseorang yang melenceng dari ‘standar’ yang ditetapkan. Ketika penghakiman terus menerus dilakukan, hal yang kemudian terjadi pada korban akhirnya adalah opresi dan sebuah ‘sanksi sosial’ yang ditujukan untuk korban.

Konstruksi sosial yang mengasosiasikan maskulinitas dengan pria dan feminitas dengan wanita sehingga pada akhirnya melekat hingga sekarang. Dalam peperangan, para wanita dianggap lemah dan tidak akan dapat survive sehingga mereka – dalam hal ini wanita perlu untuk dilindungi oleh pria. Konsep tersebut merupakan konsep yang tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Ketika para feminis berargumen bahwa ‘pria’ melindungi ‘wanita’ maksud mereka adalah ‘maskulin’ melindungi yang ‘feminin’ secara ide (Sjoberg & Jessica, 2011). Perempuan digambarkan sebagai manusia yang tidak bersalah dalam perang. Pembuat keputusan dalam perang seringkali merupakan pria sehingga wanita hruslah manusia yang perlu dilindungi.

Kejahatan pemerkosaan dalam perang dilakukan untuk menjelaskan relasi kuasa dari korban dan pelaku. Walaupun pria bisa menjadi korban perang, namun ia lebih menjadi korban dalam bertempur yang pada prinsipnya ia sebenarnya tidak ingin terlibat dalam peperangan. Namun, menyoal tentang feminitas, wanita yang digambarkan sebagai seorang yang tidak bersalah dan menjadi korban pemerkosaan dalam perang. Pelaku melakukan hal tersebut untuk menunjukkan dominasi dan kekuasaan kepada korban serta untuk menunjukkan bahwa pria yang bertempur gagal melindungi wanita yang merupakan manusia yang tidak bersalah dalam peperangan. Feminitas dalam peperangan akan selalu kalah dengan maskulinitas, tindakan yang melindungi orang-orang yang memiliki nilai-nilai feminitas sangat jarang dilakukan. Justru, orang-orang yang memiliki nilai-nilai feminitas – dalam hal ini wanita, mereka malah menjadi korban dalam peperangan. Wanita yang tidak ikut dalam pertempuran dan tidak ikut dalam pembuatan keputusan mengenai peperangan dan seperti yang dijelaskan dalam tulisan Sjeberg & Jessica (2011) bahwa wanita merupakan orang yang digambarkan sebagai orang yang tidak bersalah namun ia turut merasakan dampak perang yang membuat traumatik.

Bias gender dalam perang benar-benar terlihat jelas bahwa maskulinitas dalam perang masih mendominasi, ia juga menampakkan opresi terhadap orang-orang yang memiliki nilai-nilai feminitas. Perang saja, merupakan produk dari maskulinitas, dimana dalam peperangan para aktor saling menunjukkan kekuatan mereka dalam meraih kemenangan. Berlomba-lomba untuk menjadi yang lebih kuat daripada musuh. Sehingga, hal yang patut dipertanyakan adalah dimanakah letak feminitas dalam perang? Penulis beranggapan bahwa perang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai feminitas, karena perang adalah tentang dominasi. Bagaimana cara untuk memenangkan perang dan mendapatkan kepentingan serta bagaimana cara untuk menjatuhkan lawan adalah tujuan utama dari peperangan.

STUDY CASE

Perang Bosnia yang pecah pada tahun 1995 karena orang-orang etnis Serb menginginkan Srebrenica sebagai wilayah dari Serbia. Etnis Serb yang ingin menduduki Srebrenica pada akhirnya melakukan pemberantasan warga sipil Bosnia terutama warga Muslim disana. Etnis Serb melakukan pembantaian, penyiksaan, dan pemerkosaan terhadap warga sipil. Wanita Muslim Bosnia menjadi sasaran dalam konflik bersenjata tersebut. Puluhan ribu wanita menjadi korban pemerkosaan pada saat perang. Wanita-wanita tersebut diperkosa di rumah dan setelah selesai, wanita-wanita tersebut dibawa ke barisan para tentara untuk kemudian diperkosa lagi dan disiksa. Para tentara bahkan tidak mengizinkan wanita yang dijadikan sebagai ‘budak seks’ untuk mati karena nantinya tidak ada keuntungan yang didapat oleh para tentara.

Mereka diperkosa dan disiksa di depan keluarga mereka. Melihat keluarganya kesakitan dan merasa sangat hancur, namun tidak dapat melakukan apa-apa kecuali menangis. Bahkan ketika melawan, ia hanya akan semakin disiksa lebih kejam lagi. Opresi tersebut datang multidimensional. Jasmina, seorang wanita Muslim, korban kejahatan pemerkosaan dalam perang. Ia tidak dapat mengatakan bahwa dirinya selamat, karena pemerkosaan dan penyiksaan tersebut membuat dirinya merasa mati. “Every day we were raped, not only in the house – they would also take us to the front line for the soldiers to torture us” (Jasmina; Clarke, 2007). Para tentara Serb melakukan hal itu agar menyebar ketakutan sehingga masyarakat sipil akan patuh. Jasmina merasakan opresi dari berbagai macam dimensi. Ia seorang muslim, seorang wanita, dan seorang etnis Bosniak. Ketiga kelompok tersebut menjadi korban opresi, sehingga opresi yang dialami oleh Jasmina berlapis-lapis. Tidak banyak wanita yang bertahan. Jasmina, salah satu wanita yang dapat bertahan karena ia berpikir tentang anak-anaknya.

KESIMPULAN

Perang merupakan produk dari maskulinitas dan maskulinitas hadir karena ada konstruksi dari masyarakat bahwa ada pendikotomian nilai-nilai yang dianggap maskulin dan nilai-nilai yang dianggap feminine. Kemudian mereka melekat dalam pemikiran masyarakat. Nilai-nilai maskulinitas yang dianggap sebagai kepribadian publik, seringkali diasosiasikan dengan pria, menyambung hal tersebut, wanita seringkali diasosiasikan sebagai orang yang memiliki nilai-nilai feminitas. Sehingga, wanita akan dianggap lemah dan pria dianggap lebih kuat.

Hal tersebut tidak menjadi masalah sampai pada akhirnya, ada standarisasi yang diciptakan oleh masyarakat agar tidak ada orang yang keluar dari ‘standar’ yang ditetapkan. Karena, ketika ada seseorang yang keluar dari standar tersebut, ia merupakan produk gagal. Maka, ‘produk gagal’ tersebut akan dihakimi dan merasa terasingkan dari masyarakat. Kemudian nilai-nilai feminitas dianggap lebih inferior dari nilai-nilai maskulinitas.

Perang merupakan produk dari maskulinitas karena nilai-nilai yang disampaikan adalah dominasi dan kompetisi. Menunjukkan bahwa ia lebih kuat dari lawan dan lebih kuat dari lawannya adalah tujuan utama dari perang. Perang tidak memiliki nilai-nilai feminitas, sehingga orang yang memiliki nilai feminitas – dalam hal ini wanita, maka ia biasanya akan menjadi korban atau orang yang harus dilindungi dalam perang. Wanita seringkali menjadi korban dari keinginan untuk mendominasi. Dengan memperkosa wanita saat terjadinya perang, maka pelaku berhasil menunjukkan bahwa ia lebih kuat dari ‘pria’ yang harusnya melindunginya. Selain itu, pemerkosaan dapat membuat korban merasa ketakutan kemudian patuh terhadap apa yang diperintahkan.

REFERENSI

Wallstrom, Margot. 2010. Rape Must Never Be Minimized As Part of Cultural Traditions, UN Envoy Says (daring). Tersedia di https://news.un.org/en/story/2010/03/333712-rape-must-never-be-minimized-part-cultural-traditions-un-envoy-says. Diakses pada 14 Februari 2020.

Karina, Eva N. 2020. Gender, Nationalism, and Citizenship. Pertemuan ke-3 Kelas Gender dalam Perspektif HI. Surabaya: UPN Veteran Jawa Timur

Sjoberg, Laura & Jessica Peet. 2011. A(nother) Dark Side of The Protection Racket: Targeting Women in Wars. International Feminist Journal of Politics, 13:2, 163-182.

Clarke, Rachel. 2008. Sex Slave: Everyday We Were Raped (daring). Tersedia di http://edition.cnn.com/2008/WORLD/europe/07/22/sarajevo.rape/index.html. Diakses pada 15 Februari 2020.

Comments

Popular Posts