Gerakan Sosial: Gerakan Papua Melawan 2019

 PENDAHULUAN

Gerakan sosial telah terjadi sejak zaman dahulu. Gerakan sosial dilakukan karena memiliki tujuan dan motif untuk mencapai suatu kepentingan. Sehingga karena adanya kepentingan yang ingin dicapai ini dibutuhkan kekuatan yang lebih. Karena masyarakat sendiri kekuatan utamanya berada pada solidaritas dan berada pada kekuatan kolektif membuat gerakan sosial haruslah masif dilakukan oleh orang dengan jumlah yang banyak. Oleh karena itu gerakan sosial juga tidak dapat lepas dari politik. Politik turut ikut andil dalam gerakan sosial karena biasanya sebagian gerakan sosial bertujuan untuk merubah sistem ataupun memberikan perubahan pada pemikiran masyarakat atas suatu isu. Untuk memberi kepastian tentang hal itu, ada gejolak yang cukup besar dalam intensitas dari aksi kolektif selama periode ini, sebagaimana hal yang telah ada dalam suatu ukuran derajat dari radikalisme, bentuk spesifiknya, dan kapasitasnya untuk memengaruhi proses politik (Porta & Diani, 2006).

Pernyataan Porta (2006) dalam bukunya tersebut menunjukkan bahwa gerakan sosial less likely akan lepas dari politik. Karena keinginan adanya gerakan sosial dilakukan tidak lain adalah untuk mengubah sistem politik sesuai dengan keinginan kolektif. Aksi yang dilakukan adalah bentuk respon dari ketidak puasan status quo atau justru ketidak puasan suatu perubahan kebijakan yang mengancam status quo. Intinya, gerakan sosial dilakukan karena adanya suatu ketidak puasan yang dirasakan oleh masyarakat kolektif.

Berbicara tentang masyarakat kolektif, maka pembahasan tidak akan lengkap jika tidak dibarengi dengan masyarakat sipil. Masyarakat sipil adalah aktor utama dalam suatu gerakan sosial yang dilakukan. Dalam bukunya yang berjudul Leviathan, Hobbes (1969) memperkenalkan sebuah konsep yang hingga sekarang masih relevan dan banyak dipakai oleh banyak scholars di dunia. Konsep yang dikemukakan adalah kontrak sosial atau social contract. Dalam kontrak sosial, dijelaskan bahwa ada perjanjian antara para pemimpin dan masyarakat sipil di suatu negara. Perjanjian tersebut merupakan suatu justifikasi masyarakat sipil dalam melakukan gerakan sosial. Dalam social contract yang diperkenalkan oleh Hobbes (1969), masyarakat menyerahkan sebagian haknya dan mengakui kedaulatan penuh atas negara dalam memimpin, tetapi tugas negara adalah melindungi masyarakat dari ancaman baik dari luar maupun dari dalam. Namun seringkali, negara justru yang menjadi suatu ancaman warga negara atau masyarakat sipil sehingga yang dapat dilakukan oleh masyarakat sipil adalah melawannya dengan aksi gerakan masyarakat dengan kekuatan kolektif yang dibangun oleh banyak masyarakat.

Hal itu yang pada akhirnya membuat masyarakat sipil berperan penting dalam suatu perubahan baik politik maupun masyarakat. Walaupun gerakan sosial masyarakat tidak hanya ditujukan untuk negara saja, dalam kasus Papua Melawan tahun 2019, negara-lah yang dianggap sebagai ancaman, sehingga untuk menuntut kontrak sosialnya masyarakat sipil bergerak dan bersuara. Berbicara tentang masyarakat sipil, hal yang kemudian muncul dalam pembahasan adalah siapakah masyarakat sipil ini? Beberapa scholars telah memberikan definisi mengenai hal tersebut. Masyarakat sipil adalah masyarakat yang diatur oleh hukum, berdasarkan prinsip kesetaraan sebelum hukum, dimana setiap orang (termasuk penguasa – setidaknya dalam konsepsi Lockean) tunduk pada hukum; dengan kata lain, kontrak sosial disepakati diantara individu masyarakat (Kaldor, 2003). Sehingga dalam hal ini, sebenarnya hukumlah yang menjadi pengikat atau suatu kontrak dalam mengatur masyarakat sipil dan penguasa.

Lalu pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa gerakan Papua Melawan merupakan gerakan sosial? Mengapa orang-orang mau bergabung dalam gerakan tersebut dan memperjuangkannya? Apakah gerakan tersebut termasuk ke dalam mendukung, menolak, atau mengubah globalisasi? Apakah indicator keefektivitasan gerakan Papua Melawan? Dalam tulisan ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab ke dalam diskusi.

 

DISKUSI

Gerakan Papua Melawan merupakan gerakan yang dilakukan oleh banyak masyarakat Papua – dalam hal ini ras Melanesia yang mendapatkan diskriminasi dan komentar rasisme dari aparat negara. Pada tahun 2019, terjadi gerakan yang masif di Papua untuk melawan rasisme yang selama ini dirasakan oleh ras Melanesia di negara mereka sendiri. Awal mula kejadian yang memicu adanya gerakan Papua Melawan ini adalah karena tentara dan polisi yang terprovokasi karena bendera merah putih jatuh di depan asrama putri mahasiswi Papua di Surabaya. Karena hal tersebut, aparat negara – dalam hal ini TNI dan Polri melakukan tindakan destruktif dan komentar yang rasis seperti panggilan ‘monyet’ dan panggilan-panggilan rasis lainnya. Hal itu yang pada akhirnya memicu kemarahan dari masyarakat di Papua untuk melakukan aksi gerakan sosial. Sebenarnya, hal tersebut bukanlah satu-satunya hal yang memicu amarah masyarakat Papua – ras Melanesia. Selama ini sudah banyak diskriminasi yang diperoleh oleh orang-orang Papua baik dari negara ataupun dari masyarakat Indonesia yang bukan merupakan ras Melanesia lainnya. Sehingga hal tersebut dilakukan untuk memperoleh keadilan dalam bermasyarakat dan bernegara.

Lalu apakah yang membuat gerakan Papua Melawan ini masuk dalam kategori gerakan sosial? Gerakan sosial memiliki banyak teori dalam studinya. Para scholars memberikan beberapa teori mengenai gerakan sosial ini. Diantara beberapa teori yang dikemukakan, salah satunya adalah terdapat pendekatan sosial konstruktivis. Pendekatan sosial konstruktivis mengakui adanya emosi dan kesadaran yang memengaruhi aksi kolektif dari masyarakat. Walaupun begitu, pendekatan sosial konstruktivis ini berbeda dengan pendekatan klasik dari gerakan sosial. Jika dalam pandangan klasik dikatakan bahwa orang melakukan gerakan sosial karena akan menjadi anonym dan bebas melakukan tindak kekerasan, dalam pendekatan sosial konstruktivis, adanya emosi dan kesadaran ini karena sesuatu hal yaitu hal yang berhubungan dengan kausal orang memiliki emosi. Dalam pendekatan ini menanyakan mengapa beberapa orang merasa dipermalukan dengan situasi mereka, sedangkan yang lainnya bangga terhadap hal itu; mengapa beberapa orang berduka, sedangkan yang lainnya tidak; mengapa beberapa orang medefinisikan situasinya sebagai unjust, sementara yang lain tidak; mengapa beberapa merasa tidak berdaya, sedangkan yang lain diberdayakan; mengapa beberapa marah, sementara beberapa merasa khawatir (Stekelenburg & Klandermans, 2009).

Pendekatan sosial konstruktivis ini menjelaskan isu yang terjadi dalam gerakan Papua Melawan. Dalam gerakan Papua Melawan, beberapa orang – dalam hal ini ras Melanesia merasa keadaannya tidak adil, sementara kelompok lain merasa tidak memiliki masalah. Sehingga, karena keadaan yang tidak adil, powerless yang diterima oleh masyarakat Papua memicu masyarakat Papua untuk menuntut hal tersebut. Kausal-kausal yang muncul karena hal tersebut dapat memberi justifikasi bahwa gerakan Papua Melawan merupakan gerakan sosial karena: 1) gerakan tersebut dilakukan oleh masyarakat sipil dengan kekuatan kolektif dan ide yang sama; 2) gerakan tersebut memiliki alasan mengapa masyarakat Papua marah, merasa tidak adil, dan powerless; 3) gerakan tersebut memiliki tujuan dan memiliki tuntutan.

Orang-orang mau bergabung dengan gerakan tersebut adalah karena keadaan mereka yang merasa tidak adil, marah, dipermalukan dan banyak hal lainnya. Pendekatan sosial konstruktif setidaknya memberi pemahaman mengapa orang merasa situasinya tidak adil dan memicu gerakan sosial. Namun, lebih dari itu, gerakan sosial tidak hanya berdasarkan persepsi ketegangan structural, ketersediaan dan penyebaran sumber daya material, dan pada pembukaan atau penutupan peluang politik, atau pada kalkulus biaya, tetapi juga cara variable-variabel yang dibangun dan dibingkai dan sejauh mana mereka dapat beresonasi dengan target mobilisasi (Stekelenburg & Klandermans, 2009). Orang-orang dalam pendekatan sosial konstruktif ini – dalam hal ini masyarakat Papua memiliki alasan yang kuat untuk gerakan dengan menuntut keadilan yang setara dengan masyarakat lainnya yang posisinya sama-sama menjadi warga negara di Indonesia. Masyarakat Papua merasa diperlakukan tidak adil karena ras mereka yang ‘berbeda’ dengan mayoritas ras di Indonesia. Lebih dari itu, masyarakat Papua juga mengalami rasisme structural yang dilakukan oleh aparat negara. Karena aparat negara merepresentasikan negara di dalam masyarakat sipil yang seharusnya fungsi dari negara adalah memberikan perlindungan dari ancaman. Dalam kasus ini, justru negara berperan dalam menjadi ancaman untuk masyarakat Papua.

Amarah, protes, rasa tidak adil dari masyarakat Papua hanya dapat dirasakan oleh masyarakat Papua dan yang lainnya merasa status quo yang berjalan tidak membawa kerugian untuk mereka karena mereka bukanlah kelompok yang mengalami diskriminasi. Oleh sebab itu protes atau gerakan sosial dalam Gerakan Papua Melawan pada tahun 2019 dapat dijelaskan menggunakan pendekatan sosial konstruktif sebab apa yang dirasakan oleh masyarakat Papua berbeda dengan yang dirasakan oleh masyarakat lainnya yang bukan orang Papua. Namun apa yang kemudian mendasari orang-orang yang bukan orang Papua untuk tetap mengikuti gerakan ini?

Pendekatan sosial konstruktif tidak hanya berhenti pada konstruksi dan persepsi masing-masing pihak saja tetapi bagaimana konstruksi itu juga dapat dipahami oleh pihak yang tidak mengalaminya. Stekelenburg (2009) menjelaskan dalam tulisannya bahwa suatu gerakan akan memengaruhi interpretasi orang tersebut oleh informasi yang mereka sebarkan dan proses tersebut disebut framing. Karena framing atau pembingkaian yang dilakukan menjadi membuat banyak orang bergabung walaupun merasa tidak memiliki nasib yang sama. Berpartisipasi karena kepentingan bersama dan ideologi membutuhkan pembagian interpretasi atas siapa yang harusnya beraksi, mengapa, dan bagaimana (Stekelenburg & Klandermans, 2009). Sehingga, karena kesamaan ide, membuat orang-orang dari luar Papua juga ikut dalam gerakan tersebut. Kesamaan ide tersebut berupa kesadaran bahwa seharusnya semua manusia diperlakukan dengan setara dan adil tanpa membeda-bedakan ras.

Gerakan Papua Melawan pada tahun 2019 merupakan gerakan yang tidak secara langsung mendukung, menolak, maupun mengubah globalisasi karena tuntutan utama dalam gerakan Papua Melawan ini adalah menuntut untuk kesetaraan dan keadilan. Namun jika lebih dibedah lagi, permasalahan di Papua tidak sedangkal diskriminasi dan rasisme. Ada banyak problematika yang dialami oleh masyarakat Papua. Hak-hak masyarakat adat di Papua terancam. Karena adanya industrialisasi dan keinginan negara dalam menaikkan pertumbuhan ekonominya membuat tanah adat milik masyarakat adat di Papua terancam diambil alih oleh negara.

Deforestasi atau penggundulan hutan menjadi ancaman besar lainnya bagi masyarakat adat di Papua Barat, sebagai penebangan kayu illegal dan perdagangan terus ada dalam skala besar (International Coalition for Papua, 2020). Gerakan Papua Melawan menjadi relevan karena ia tidak hanya berfokus pada keinginan untuk menuntut keadilan dan kesetaraan dalam diperlakukan, namun juga memilih nasibnya sendiri dengan menuntut untuk memiliki negara sendiri dan pemerintahannya sendiri.

Masyarakat global melihat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap Papua. Hubungan Papua dengan pemerintah Indonesia menjadi sorotan dalam masyarakat internasional, menjadi pembahasan di beberapa pertemuan, dan menjadi penelitian di beberapa penstudi dan penggiat HAM. Papua menjadi pembahasan di beberapa negara tentang pelanggaran HAM. Ini membuktikan globalisasi berpengaruh besar terhadap gerakan ini. Diskriminasi dan tindakan rasisme yang sistematis yang dilakukan oleh negara dapat dengan mudah diinformasikan dan diketahui oleh masyarakat global.

Dengan adanya globalisasi pula penyebaran ide tentang rasisme, diskriminasi, dan perlakuan-perlakuan yang melanggar HAM dapat menyebar dengan mudah, mendekonstruksi pemikiran-pemikiran yang dulunya melanggengkan perlakuan tersebut, dan membuat masyarakat lebih aware terhadap isu-isu serupa. Isu diskriminasi dan rasisme sistemik kepada Papua ini dapat dilakukan juga oleh masyarakat non-Papua yang memiliki ide yang sama yang ingin mendukung kemanusiaan. Gerakan Papua Melawan ini juga akhirnya menyadarkan masyarakat yang sebelumnya tidak teredukasi mengenai isu ini menjadi tahu dan mengambil sikap.

Sehingga gerakan ini mendukung globalisasi karena dengan globalisasi masyarakat semakin meningkatkan kepekaan terhadap apa yang dialami Papua oleh negara. Masyarakat internasional pada akhirnya mampu menegur Indonesia yang masih melakukan pelanggaran HAM kepada warga negaranya padahal Indonesia sendiri sudah meratifikasi perjanjian HAM. Masyarakat internasional menjadi lebih tahu apa yang terjadi di Papua dan mengumpulkan solidaritas atas nama HAM. Karena pada akhirnya bukan hanya masyarakat dalam negara saja yang peka terhadap isu ini tetapi juga masyarakat global.

Dalam gerakan sosial pasti memiliki tujuan dan standar kesuksesan. Dikatakan sukses jika mencapai tujuan. Namun, kesuksesan gerakan sosial tidak hanya diukur dari hal itu saja. Ada beberapa indikator efektivitas dari sebuah gerakan. Indikator efektivitas dari sebuah gerakan adalah perubahan sosial. Dalam kasus gerakan Papua Melawan tahun 2019, cukup efektif dalam memberikan perubahan sosial.

Gerakan Papua Melawan memberikan pemahaman kepada masyarakat di dalam dan luar Indonesia bahwa masyarakat Papua mengalami diskriminasi, bahwa masyarakat Papua mengalami rasisme sistemik oleh negara, dan bahwa HAM dari orang-orang Papua dianggap tidak penting oleh negara. Dalam gerakan tersebut akhirnya dapat merubah dan mendekonstruksi pemikiran orang-orang bahwa Papua memang tidak baik-baik saja. Dekonstruksi tersebut memberikan orang-orang pemahaman bahwa hal yang dilakukan negara adalah salah dan narasi yang diciptakan oleh negara tidak benar dan hanya berasal dari point ov view dari negara.

Adapun masyarakat luar Indonesia juga mengetahui hal tersebut dan dapat mengambil sikap dalam tindakannya mengenai isu HAM di Papua. Karena Gerakan Papua Melawan, masyarakat Papua menjadi lebih direpresentasikan dalam berita-berita tentang apa yang dirasakannya, apa yang dialami, dan apa yang diinginkan. Setidaknya walaupun sangat sulit untuk menyadarkan negara dan meminta rekonsiliasi kepada negara karena negara tidak mengakui kesalahannya, masyarakat Papua dapat mengedukasi dan memberi informasi tentang apa yang terjadi terhadap Papua, apa yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat Papua dan lain sebagainya.

Oleh karena itu gerakan Papua Melawan ini cukup efektif dalam membuat perubahan sosial di masyarakat sebab karena hal tersebut menjadikan banyak masyarakat yang mengetahui bahwa selama ini Papua tidak baik-baik saja, selama ini masyarakat Papua harusnya mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat di wilayah Indonesia yang memiliki suku atau ras mayoritas ataupun bernegara di wilayahnya sendiri. Karena gerakan papua melawan, memberikan kontribusi terhadap meleknya masyarakat Indonesia terhadap rasisme yang terjadi dan semakin memperlakukan sesama dengan adil tanpa membeda-bedakan ras. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang speak up terhadap rasisme dan diskriminasi di sosial media.

KESIMPULAN

Gerakan Papua Melawan ini memang bertujuan untuk menuntut keadilan kepada negara terhadap diskriminasi dan rasisme sistemik yang dialami oleh masyarakat Papua. Namun, dalam lapangan, sangat susah meminta rekonsiliasi dari negara karena negara sibuk membangun narasi yang membenarkan perlakuannya terhadap masyarakat Papua. Gerakan Papua Melawan pada tahun 2019 merupakan gerakan sosial karena ia memiliki tujuan dan memiliki masa, dilakukan oleh masyarakat sipil yang memiliki ide dan identitas yang sama. Gerakan sosial ini banyak diikuti oleh masyarakat karena memiliki kesamaan nasib ataupun sekedar kesamaan ide. Papua Melawan juga mendukung globalisasi karena dengan adanya globalisasi, gerakan ini dapat terbantu dengan tersebar luasnya informasi tentang apa yang terjadi dan mendekonstruksi masyarakat.

Gerakan Papua Melawan efektif dalam memberikan perubahan sosial kepada masyarakat karena setelah gerakan ini muncul, masyarakat menjadi lebih peka terhadap diskriminasi yang dialami oleh Papua, media pula juga semakin merepresentasikan orang Papua dalam medianya sehingga masyarakat jauh lebih teredukasi mengenai perbedaan. Oleh karena itu gerakan Papua Melawan ini efektif dalam memberikan perubahan sosial.

References

Hobbes, T., 1969. Leviathan, 1651. Menston: Scholar P.

International Coalition for Papua, 2020. Human Rights And Conflict Escalation in West Papua, Geneva: International Coalition for Papua (ICP).

Kaldor, M., 2003. The Idea of Global Civil Society. International Affairs Royal Institute of International Affairs, 79(3), pp. 583-593.

Porta, D. D. & Diani, M., 2006. Social Movement: An Introduction. 2nd ed. Malden: Blackwell Publishing.

Stekelenburg, J. v. & Klandermans, B., 2009. Social Movement Theory: PAst, Present, and Prospect. Movers and Shakers, pp. 17-43.

 

Comments

Popular Posts