Yuni dan Ekspektasi Lingkungan Kepada Perempuan: Review Film

 Film Yuni bercerita tentang bagaimana seorang siswi SMA bernama Yuni yang tidak ingin menikah dan memilih untuk melanjutkan sekolahnya. Namun banyak orang di lingkungannya yang mengekspektasikannya untuk menikah. Beberapa hal menjadi sorotan dalam film ini. Representasi perempuan di film ini sudah sangat baik. Mulai dari perempuan yang menikah muda, perempuan janda, perempuan yang sering menolak lamaran dan lainnya dengan stigma-stigma yang masih langgeng di masyarakat.


1. Tes Keperawanan yang Tidak Lagi Relevan

    Di awal film, sekolah Yuni mengadakan sosialisasi tentang banyaknya siswi yang hamil sehingga mereka akan mengadakan tes keperawanan untuk mengetahui apakah para siswa telah melakukan hubungan seksual atau tidak. Kita sudah tahu bahwa keperawanan tidak bisa diukur hanya dengan mengandalkan melihat selaput dara. Tubuh tiap perempuan berbeda-beda. Ada perempuan yang memiliki selaput dara, ada yang terlahir tanpanya. Ada perempuan yang terlahir dengan selaput dara yang tipis sehingga bisa sobek saat olahraga atau beraktivitas dan ada yang memiliki selaput dara yang tebal. Tes keperawanan ini rentan sekali salah karena pengecekan tersebut tidak akurat.

    Masih tentang tes keperawanan, tes tersebut akan melanggengkan standar ganda atau double standard. Masalahnya, laki-laki tidak ikut dicek dan tidak ada cara untuk mengecek apakah seorang laki-laki telah melakukan hubungan seksual atau tidak. Seolah, beban tersebut hanya diberikan kepada perempuan dan tidak dibebankan pada laki-laki. Perempuan diminta masyarakat untuk "menjaga" tubuhnya tapi tidak dengan laki-laki. Seolah tubuh perempuan adalah milik publik dan perempuan bertanggung jawab dalam "menjaganya".

2. Ngapain sekolah tinggi? Kan cuma perempuan.

    Sering sekali orang mempertanyakan mengapa perempuan bersekolah tinggi padahal kerjanya hanya di dapur. Hal tersebut juga terdapat scene dimana ibu-ibu di lingkungan rumah Yuni memberitahu Yuni kalau Yuni tidak perlu sekolah tinggi karena nantinya pun pekerjaannya hanya berkutat pada dapur, sumur, dan kasur. Bahkan banyak yang bilang itu merupakan kodrat dari seorang perempuan. Perempuan-lah yang harus bertanggung jawab dalam urusan domestik. Perempuan tidak seharusnya ada di ranah publik. Karena itu banyak sekali mimpi perempuan harus dikorbankan.

    Itu hal yang salah. Kodrat perempuan bukan hanya berada di dapur, kasur, dan sumur. Perempuan memiliki mimpi yang berbeda-beda. Kita tidak bisa mematok standar bahwa perempuan yang berhasil adalah perempuan yang pintar memasak dan pandai dalam memuaskan suami. Urusan domestik bukan hanya tanggung jawab perempuan. Urusan domestik adalah urusan bersama. Perempuan tentunya memiliki pilihan dan hak yang sama dengan laki-laki untuk bisa sekolah tinggi.

3. Perempuan membicarakan soal seks dan orgasme masih menjadi hal yang tabu

    Saat Yuni berkumpul dengan teman-temannya, Yuni bertanya kepada Tika, temannya yang sudah menikah dan memiliki anak. Yuni bertanya apakah berhubungan seksual itu sakit, apakah Tika bisa mencapai orgasme, dan kenapa Tika tidak berani ngomong ke suaminya bahwa dia tidak orgasme. Tapi saat Yuni bertanya tentang hal tersebut, temannya Sarah langsung menegurnya. Hal ini sangat sering terjadi di masyarakat bahwa perempuan tidak boleh membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan seksual. Perempuan yang membicarakan hal-hal tersebut dianggap perempuan "nakal" dan tidak pantas.

    Padahal ngomongin tentang seks dan orgasme adalah hal yang penting. Perempuan jadi lebih tahu bagaimana mendapatkan klimaks dan bagaimana kedua belah pihak dapat merasakan kepuasan. Hubungan seksual bukan hanya untuk mencapai kepuasan satu orang saja, tetapi semua yang melakukannya. Hal ini muncul karena konstruksi bahwa istri harus "memuaskan" suaminya sehingga istri atau perempuan sering diam karena merasa ia hanya bertanggung jawab untuk"memuaskan" suaminya tanpa mementingkan kepuasannya.

4. Perempuan dilarang bersuara atau bernyanyi

    Di sekolah, Yuni tidak dapat mengeluarkan suaranya atau bernyanyi karena dianggap bahwa suara perempuan adalah aurat dan perempuan seharusnya diam. Yuni merasa tidak dapat berkembang di sekolahnya karena larangan dari anak-anak rohis. Jadi, Yuni bernyanyi diluar agar dapat melakukan hobinya.

Larangan untuk perempuan bersuara adalah karena masih kentalnya objektifikasi perempuan. Artinya, perempuan di masyarakat masih menjadi objek seksual dan dianggap jika mengeluarkan suara akan membangkitkan nafsu orang lain. Suara perempuan dianggap menjadi hal yang tidak sepatutnya didengar. Ini membuktikan bahwa masyarakat misogini masih kental karena terus menyudutkan perempuan. Perempuan tidak dapat bersuara dengan bebas di ruang publik yang padahal itu adalah hak setiap orang untuk mengekspresikan diri.

5. Perempuan dilamar adalah berkah?

    Saat Yuni dilamar, Orang-orang yang tinggal disekitar lingkungan rumahnya berkata bahwa seharusnya Yuni menerima saja lamaran orang yang melamarnya karena itu merupakan berkah ketika anak perempuan dilamar oleh laki-laki. Seolah-olah perempuan adalah komoditas saja. Perempuan berhak menolak lamaran jika mereka tidak ingin menikah. Lamaran dari orang bukan sesuatu yang berkah.

    Lamaran yang masih dianggap berkah oleh masyarakat menjnjukkan masih kentalnya budaya patriarki yang menunjukkan laki-laki memiliki kuasa untuk memilih perempuan mana yang akan dijadikan istrinya dan perempuan merasa diberi berkah karena telah "dipilih". Padahal hubungan kan dijalani berdua. Kenapa harus ada satu pihak yang harus merasa berkah saat dilamar. Terlepas siapa yang memulai, seharusnya lamaran tidak digunakan tolak ukur suatu berkah. Boleh saja senang atas lamaran seseorang, tetapi jangan mematok hal tersebut ke orang lain yang tidak memiliki value yang sama.

Lagipula, tidak semua perempuan memiliki tujuan yang sama untuk menikah. Ada perempuan yang bertujuan untuk mencapai target karir yang dituju. Kita tidak bisa menyamaratakan tujuan perempuan karena tujuannya berbeda-beda. Semoga masyarakat bisa menyelamati pencapaian perempuan dalam karirnya yang baik dan tidak hanya saat menikah, melahirkan, dan hamil saja.

6. Perawan dianggap memiliki value yang lebih tinggi

    Untuk kedua kalinya, Yuni dilamar dan diberikan uang 25 juta untuk menjadikan Yuni istri keduanya. Laki-laki tersebut seperti menjadikan perempuan sebagai komoditas dengan "membeli" Yuni. Dia juga bilang kalau saat malam pertama Yuni masih perawan akan ditambah lagi 25 juta. Ini masih kental di masyarakat kalau perempuan yang masih perawan masih dianggap memiliki nilai lebih tinggi daripada yang sudah tidak perawan.

    Padahal keperawanan hanyalah konstruksi masyarakat. Dan kita seharusnya sudah tahu bahwa kita tidak bisa menilai seorang perempuan dari keperawanannya saja. Nilai diri perempuan dari keberanian, kepintaran, wawasan yang luas, dan banyak hal lain. Tidak perlu penasaran dengan isi selangkangan perempuan seolah itu milik publik dan akan dihakimi jika sekali perempuan "kehilangan" hal tersebut. 2022 masih saja memuja keperawanan perempuan.

7. Tidak Semua Perempuan Punya Keberanian yang Sama

Saat teman Yuni, Sarah dituduh melakukan sesuatu dengan pacarnya, ia dinikahkan tapi sebenarnya tidak siap untuk menikah. Yuni berkata bahwa Sarah memiliki pilihan untuk berkata tidak. Tapi Sarah tidak memiliki keberanian seperti Yuni sehingga dia terjebak dan harus menikah.

Hal itu membuat aku sadar bahwa tidak semua perempuan memiliki keberanian yang sama. Kita bisa saja memberi mereka saran untuk menjadi vokal terhadap ketidakadilan yang dialami mereka, tetapi kita juga harus meletakkan diri pada keadaan dan kondisi mental mereka. Tidak semua orang memiliki kondisi yang sama. Sehingga tidak tepat jika kita memberi mereka saran diluar kapasitas mereka. Kita juga tidak bisa merendahkan mereka atas tindakan apa yang dipilih mereka karena banyak pertimbangan yang pastinya sudah mereka perhitungkan. All we have to do is to support them for what they choose.

8. Masih belum ada tempat aman untuk seksualitas non-heteroseksual di Indonesia

Di film Yuni juga terdapat adegan ketika Yuni mendapati guru yang dikaguminya, yaitu Pak Damar yang memakai hijab. Yuni sangat terkejut dan berlari. Besoknya, Pak Damar datang ke rumah Yuni untuk melamar Yuni dan Pak Damar memberitahu Yuni ini adalah satu-satunya cara untuk membahagiakan orang tuanya. Pak Damar harus menutupi jati dirinya karena takut tidak diterima masyarakat dan keluarganya.

Hal ini juga terjadi di kehidupan nyata dimana seksualitas selain heteroseksual dan gender yang beragam masih belum diterima oleh masyarakat sehingga tidak ada ruang aman untuk mereka. Mereka terpaksa harus menutupi identitasnya agar dapat diterima masyarakat. Padahal sudah hak manusia untuk dapat mengekspresikan diri mereka tanpa ada rasa takut. Toh, mereka juga tidak mengganggu kehidupan orang lain juga, kan?

Film Yuni di akhir menunjukkan semua perempuan yang walaupun berbeda latar belakang dan tujuan mereka, mereka tetap saling mendukung. Yuni adalah film yang aku bisa rekomendasikan untuk ditonton. Rate dariku 9/10. Selamat menonton!

    

Comments

Popular Posts