HUBUNGAN ANTARA GLOBALISASI DAN POST KOLONIALISME YANG DILANGGENGKAN
Globalisasi semakin
berkembang dari waktu ke waktu. Pada akhirnya, sedikit demi sedikit banyak
negara yang awalnya kurang terbuka dengan globalisasi menjadi lebih membuka
diri. Globalisasi seringkali diartikan sebagai suatu proses dimana dunia
menjadi tak ada batasan lagi. Dalam artian, semua hal dapat dengan mudah
diakses. Pasar menjadi semakin luas dan negara bukan lagi menjadi penghalang.
Negara memang masih menjadi aktor yang penting dalam memberikan regulasi, namun
ada aktor lain yang muncul dan menjadi sangat penting dalam globalisasi. Aktor
penting seperti MNC menjadi sangat penting karena MNC lah yang berperan dalam
penyebaran produk.
Formulasi
globalisasi saat ini termasuk beberapa antithesis dan konsep yang bercampuran
seperti homogenisasi, perbedaan, hibridisasi, pluralitas, lokalisme dan
relativisme, dan konsep yang bercampuran seperti glokalisasi (Sengupta, 2001).
Dalam perdebatan globalisasi beberapa golongan memiliki pandangan bahwa
konsekuensi utama pada globalisasi nantinya menuju ke satu tujuan. Dalam literasi
Tadija Tadic (2006), golongan radikal percaya bahwa konsekuensi utama dari
globalisasi terhadap budaya adalah adanya homogenisasi. Sedangkan kaum moderat
percaya bahwa konsekuensi yang akan ditimbulkan oleh globalisasi adalah
hibridisasi dimana budaya di dunia menjadi percampuran budaya satu dengan
budaya lain, di lain sisi kaum skeptis beranggapan bahwa konsekuensi utama dari
globalisasi adalah terjadinya fragmentasi budaya-budaya yang akan bertemu.
Menimbang status quo yang ada, hal yang dapat memungkinkan
terjadi adalah apa yang dikatakan oleh golongan radikal atau dapat disebut juga
hiperglobalis. Dunia saat ini menuju suatu budaya baru yang diciptakan oleh
globalisasi ini. Banyak budaya-budaya lama mulai tergeser dengan budaya yang
baru. Globalisasi ketimbang menjadi suatu sistem baru yang memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap aktor, justru menjadi suatu sistem yang
melanggengkan dominasi suatu budaya. Dengan begitu, sistem ini pada akhirnya
menjadikan budaya lain dianggap tidak ‘layak’ untuk menjadi budaya global. Pada
akhirnya, post-kolonialisme terus berlanjut dan kemungkinan homogenisasi yang
disebut oleh kaum hiperglobalis adalah dominasi satu budaya.
POST-KOLONIALISME
Dengan telah berhentinya
kolonialisme oleh bangsa Eropa kepada negara dunia ketiga tidak membuat
sisa-sisa kolonialisme juga sudah tidak ada lagi. Sisa-sisa kolonialisme masih
membekas pada bangsa Eropa sendiri dan bahkan dilegitimasi oleh beberapa
masyarakat di negara dunia ketiga.
Kembali pada saat
kolonialisme, ada mitos yang dipercaya oleh bangsa Eropa yang mereka sebut
“white man’s burden”. Dalam mitos tersebut bangsa kulit putih Eropa adalah
bangsa yang biadab yang memiliki tugas membuat bangsa-bangsa biadab menjadi
lebih beradab (Suryana, 2009). Sehingga, solusi yang diterapkan oleh bangsa
Eropa untuk menjadi bangsa-bangsa lain lebih beradab dengan kolonialisme. Namun
walaupun kolonialisme telah hilang dan banyak bangsa-bangsa yang membentuk
negara dan merdeka, nilai-nilai kolonialisme masih saja dilanggengkan dalam
tatanan internasional.
Mudah saja dalam
mengambil contohnya dimana ilmu-ilmu yang lahir dan berasal dari Eropa dinilai
objektif, kredibel, dan layak untuk dipelajari. Sebaliknya, ilmu yang berasal
dari bangsa lain selain bangsa Eropa atau “orang kulit putih” adalah ilmu
subjektif yang menyematkan kebudayaannya disana dimana merupakan kebudayaan
orang-orang biadab. Pemikiran tersebut tidak berhenti hanya dalam bidang ilmu
pengetahuan saja namun banyak bidang seperti budaya, standar kecantikan, dan
gaya hidup.
Lalu menyoal
mengenai definisi post-kolonialisme, dalam tulisannya, Suryana (2009)
mengatakan bahwa post-kolonialisme sulit untuk didefinisikan. Karena kritik
para penstudi post-kolonial yang menganggap bahwa semua ilmu pengetahuan
memiliki biasnya pada suatu ideology atau suatu pemikiran dari penulisnya
membuat para penstudi post-kolonial tidak ingin memberikan definisi yang jelas.
Para post-kolonial tidak mau terjatuh dalam kebiasan ilmu yang akan
diciptakannya sendiri. Cara termudah dalam memahami post-kolonialisme adalah menghubungkan
antara kolonialisme klasik dengan status quo yang ada. Dimana cara pandang yang
masih menganggap bahwa bangsa Eropa adalah bangsa yang superior.
BAGAIMANA
GLOBALISASI TURUT DALAM MELANGGENGKAN POST-KOLONIALISME
Globalisasi yang
semakin diterima oleh masyarakat dan orang-orang di negara dunia ketiga turut
dalam melanggengkan post-kolonialisme. Bagaimana budaya-budaya yang dibawa globalisasi
ini lebih terlihat adanya dominasi dari budaya bangsa Barat yang mana merupakan
budaya orang-orang berkulit putih di Eropa. Globalisasi memang memberikan
kesempatan yang sama kepada semua orang dan semua aktor. Namun yang perlu di
garis bawahi disini adalah globalisasi memberikan kesempatan yang sama kepada
semua aktor yang memiliki starting point
yang berbeda. Sehingga, ketika negara, MNC, ataupun individu bersaing, mereka
tidak memiliki starting point yang
sama dalam berkompetisi sehingga mereka yang memiliki ‘privilese’ akan lebih
mudah berproses daripada orang-orang yang benar-benar struggle dalam berproses.
Dalam konsekuensi
dari globalisasi yang diberikan oleh kaum hiperglobalis, disebutkan bahwa
globalisasi akan mengarah ke satu budaya yang sama yang berujung homogenisasi
dimana hanya ada satu budaya yang berada di dunia karena globalisasi
mencita-citakan globalisme dan masyarakat global. Kepercayaan yang paling
banyak dipegang tentang globalisasi dan budaya mungkin adalah konvergensi
menuju seperangkat sifat dan praktik budaya yang sama (Holton, 2000). Melihat
pada status quo yang ada dan sedang terjadi ini, budaya yang mendominasi adalah
budaya Barat yang disebut ‘the West’ yang dianggap budaya yang beradab, layak,
dan elegan sedangkan budaya-budaya lain disebut ‘the rest’ yang bukan merupakan
budaya yang layak, cenderung kaku, dan merupakan budaya dari orang-orang yang
biadab. Justifikasi dari layaknya budaya Barat diangkat sebagai budaya yang
mengglobal adalah karena budaya Barat dikonstruksikan sebagai budaya yang
dinamis dan inovatif, rasional dan toleran sedangkan konstruksi untuk budaya
bangsa lain adalah budaya yang satgnan dan tidak dapat berubah, erotis, dan
otoriter (Holton, 2000).
Selain konstruksi
tersebut yang masih langgeng di status quo yang ada, konstruksi mengenai
definisi ‘rupawan’ lebih merujuk ke orang-orang berkulit putih. Orang-orang menetapkan
standar kecantikan yang tidak masuk akal jika disematkan ke individu yang memiliki
ras selain kaukasia. Hal ini dikomersilkan bahkan banyak di stasiun hiburan.
Bahkan, orang-orang yang bukan merupakan ras kaukasia mengamini standar
kecantikan yang berkulit putih. Bahkan terkadang, individu dari negara dunia
ketiga juga turut melanggengkan pots-kolonialisme dimana di beberapa negara
menganggap kualitas barang dari negara Eropa dan Amerika Serikat dianggap lebih
bagus dan merasa memiliki kebanggaan ketika mendapatkan barang dari
negara-negara ‘Barat’. Post-kolonialisme adalah racun yang dianggap sebagai
kenormalan oleh sebagian orang baik dari orang-orang Eropa sendiri ataupun dari
negara-negara yang disebut ‘the rest’.
Dengan adanya
post-kolonialisme dan konstruksinya yang masih melekat di masyarakat negara
dunia ketiga bahwa kelompok kulit putih dan apa saja yang berasal dari negara
’Barat’ dianggap lebih superior maka konstruksi ini juga membantu kaum
kapitalis untuk mendapatkan pasar dengan mudah baik di negara Barat maupun di
negara dunia ketiga. Post-kolonialisme yang mengakar dalam kehidupan masyarakat
datang karena pemikiran dimana barang, teknologi, fashion, akademisi, buku dan
ilmu serta semua hal yang datang dari negara Barat dianggap lebih berkualitas
dan lebih superior dibandingkan dari negara-negara dunia ketiga membuat negara-negara
dunia ketiga hanya dapat menerima untuk menjadi pasar karena konstruksi
tersebut. Globalisasi yang katanya memberikan kesempatan yang sama, hanya
dinikmati oleh para pemilik modal dari negara-negara dunia Barat karena mereka
memiliki privilese yang telah dianggap superior. Kekuatan besar ini membuat
kaum kontrarevolusi sadar akan kemampuan bangsa Eropa untuk melakukan dominasi
atas populasi (Suryana, 2009).
STUDI
KASUS
Globalisasi yang
marak dengan agenda homogenisasi mengarah ke westernisasi. Banyak yang
menganggap bahwa nama lain dari homogenisasi adalah westernisasi atau bahkan
Amerikanisasi karena standar budaya yang sama yang banyak diharapkan adalah
standar budaya barat dan lebih tersentral pada Amerika Serikat. Budaya yang
sama dapat dilihat dalam penyamaan sikap konsumerisme terhadap makanan cepat
saji. Sehingga, seringkali adanya julukan McDonaldisasi untuk menggambarkan
bahwa dunia telah menuju ke kesamaan budaya konsumerisme.
Karena McDonald
sudah memiliki jutaan cabang di negara-negara di dunia bahkan tak terkecuali di
Rusia. Uniknya, di Rusia menurut Shannon Talbott (1995) tidak menampakkan
budaya McDonaldisasi yang common di
negara lain. Di Rusia, daripada menghabiskan waktu berlama-lama di McDonald,
pelanggan justru hanya memesan teh dan merasakan atmosfer kemudian pergi dari
Mcdonald, selain itu pelanggan juga rela untuk berantre lama berjam-jam
daripada efisiensi. Alih-alih menarik pelanggan dengan varian menu, justru
banyak menu yang tidak disajikan di McDonald Moscow. Sehingga McDonald di
Moskow tidak mencerminkan homogenisasi yang terjadi. Namun, tidak sepenuhnya ia
bertolak belakang dengan homogenisasi. Budaya mengkonsumsi McDonald masih ada
disitu dan budaya untuk datang ke McDonald juga masih mencerminkan homogenisasi
yang terjadi.
REFERENSI
Holton, Robert. 2000. Globalization’s Cultural
Consequences. The Annals of the American Academy of Political and Social
Science, 570 (1), 140-152.
Pieterse, Jan Nederveen. 2004. Globalization and
Culture: Global Mélange (Ch. 4).Lanham: Rowman and Little field.
Sengupta, Chandan. 2001. Conceptualising
Globalisation: Issues and Implications. Economic and Political Weekly, 36 (33),
3137-3143.
Suryana,
Mirza Jaka. 2009. Studi Poskolonial untuk Pengembangan Literatur Ilmu Hubungan
Internasional, dalam Asrudin dan Mirza Jaka Suryana, Refleksi Teori Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Tadic, Tadija. 2006. The Globalization Debate: The Sceptics. Panoeconomicus, 2, str.
179-190.
Talbot, Shannon. 1995. Dalam Pieterse, Jan Nederveen.
2004. Globalization and Culture: Global Mélange (Ch. 4).Lanham: Rowman and
Little field.
Comments
Post a Comment