hujan asam yang membuat besi kami berkarat.

 A friend of mine once asked me after my break up. She asked "Don't you feel lonely? After everything you have been through with him, now you're all alone"

Well, gladly I don't feel lonely. I am indeed all alone but I'm not lonely. Aku sudah terbiasa dengan rasa sendiri. Menjadi temanku ketika tumbuh. Aku suka sendiri. Aku bisa melakukan apapun yang aku ingin tanpa harus memikirkan perasaan pihak lain.

Dalam hubungan, aku selalu mementingkan kebahagiaan pihak lain - pasanganku. Aku harus memastikan dia senang dan nyaman dengan apapun keputusan yang aku buat. Sehingga aku behave seperti apa yang akan membuat dia senang dengan kehadiranku.

Justru, aku tidak menjadi bebas dalam hubungan. Bukan salah dia juga. Dia tidak pernah juga kontrol aku for how I should behave. Nggak pernah sekalipun. Itu datang dari kemauanku. Aku merasa harus bertanggung jawab penuh dengan ekspektasi pasanganku. Dengan kebahagiaannya. Dengan rasa nyamannya dalam hubungan.

Aku tidak menjadi aku karena itu. Mungkin untuk sekilas kedengarannya buruk, ya. Aku kelihatan seperti orang yang nggak bisa jadi diri sendiri. Seperti aku menciptakan persona yang harusnya dia sukai. Yang dia harusnya nyaman.

Tapi sebenarnya itu juga bagus. Aku yang aku belum tentu selalu memiliki sisi baik. Aku yang aku banyak memiliki sisi buruk lain. Yang juga kalau aku tunjukkan dalam hubungan, bisa jadi akan memperburuk hubungannya. Bisa jadi aku yang aku, jika kutunjukkan akan menjadi hujan asam buat hubunganku dari besi. Yang walaupun dia kuat, tapi akan berkarat. Kotor. Beracun.

Aku yang aku punya banyak rasa tidak aman dalam hubungan. Punya banyak pikiran beracun. Punya banyak hal yang itu tadi, meracuni besi kami yang kuat. Maka aku pendam aku yang aku biar hubungan kami tetap berjalan.

Ya walaupun akhirnya, awan juga akan tumpah kalau sudah terlalu memuat banyak uapan air kan. Ditambah lagi bukan air biasa. Tapi air asam. Aku tumpahkan air asam itu ke besi kami. Aku nggak kuat menahannya lagi.

Meski sudah aku siram dengan air asam itu, dia tetap merawat besi berkaratnya. Dibaluti besi karat itu dengan sabar. Itu semua berulang-ulang. Aku nggak tahu sampai kapan pastinya. Tapi aku ingat pasti itu berjalan hingga dua tahun.

Dua tahun itu waktu yang dia luangkan dengan percuma untuk merawat besi-besi berkarat, kotor, dan beracun itu. Karena cuma satu pihak saja makanya jadi percuma. Satu pihak yang lain, punya audacity untuk menumpahkan air asamnya.

Aku sudah tahu betul itu memang akan membuat besi kami berkarat. Tapi aku tetap menumpahkannya. Terlalu banyak di atas. Dia butuh tumpah meski beresiko.

Tapi siapa yang nggak capek sih ketika kamu selalu merawat barang yang beracun, berusaha membersihkannya atau setidaknya yaa, sekedar mengelap sisa air yang ada disana? Apalagi, pihak yang seharusnya menjaga besi itu terus-terusan menumpahkan air asam itu.

Pastinya capek. Ngerasa nggak ada gunanya juga dia berusaha buat merawat besi itu. Seberapapun dia rawat dan sebagai orang yang sabar dengan itu. Dia berharap suatu saat hujan asamku akan reda. Tapi nggak sama sekali. Hujan asam itu terus-terusan bertumpahan.

Kami tumbuh bersama, tapi aku menolak untuk maju. Aku selalu merasa tidak bisa menggalkan tempat itu. Dia, maju. Dengan semua harapan dia untuk kami. Aku juga berharap, kok. Bedanya, meski dia punya segala harapan yang sama dengan aku, aku mengotori itu.

Rasa tidak aman, rasa tidak percaya, semua rasa negatif aku telan bulat-bulat. Dia yang bisa belajar dari kesalahannya di masa lalu bilang, dia ingin memperlakukan aku lebih baik dari perempuan sebelumnya. Karena memang dari mereka dia bisa belajar, kan. Beda denganku yang hidup dalam ketakutan karena relasiku sebelumnya.

Aku sangat susah beranjak dari tempat itu. Semua perasaan paranoidku baik yang sudah aku tumpahkan ke dia ataupun yang masih aku simpan, ya masih disini. Belum kemana-mana. Entah aku yang sengaja menyimpannya atau memang aku setidak berdaya itu mengeluarkannya.

Aku yang aku banyak kurangnya. Aku yang aku rasanya memang pantas sendiri. Karena aku yang aku akan meracuni relasi kami. Aku bangga dengan dia, bisa melepaskan racun itu. Dia memang tidak berkewajiban untuk mendetoxicate relasi kami. Setidaknya, jika memang tanggung jawab, itu dilakukan berdua.

Tapi bagaimana? dia terlalu banyak berkorban. Sedangkan aku, sibuk dengan masa lalu yang masih aku simpan. Hubungannya jadi tidak imbang. Goyah. Dan akhirnya it crashes.

Comments

Popular Posts